Selasa 13 Sep 2022 11:31 WIB

OJK Isyaratkan Batasi Restrukturisasi Kredit

Restrukturisasi kredit yang terdampak Covid-19 terus melandai.

Rep: Novita Intan/ Red: Gita Amanda
 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana membatasi kebijakan restrukturisasi kredit terkait dampak pandemi Covid-19. (ilustrasi).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana membatasi kebijakan restrukturisasi kredit terkait dampak pandemi Covid-19. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana membatasi kebijakan restrukturisasi kredit terkait dampak pandemi Covid-19. Hal ini bertujuan agar stimulus OJK lebih target ke sektor, segmen, maupun wilayah yang masih membutuhkan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan restrukturisasi kredit yang terdampak Covid-19 terus melandai. Pada Agustus 2020, jumlah restrukturisasi kredit mencapai level tertingginya sebesar Rp 830,47 triliun, maka pada Juli 2022 tersisa hanya Rp 560,41 triliun.

“OJK mempertimbangkan efektivitas kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit sehubungan dengan tingkat pemulihan kinerja debitur yang berbeda setiap sektor, segmen, serta wilayah yang dianggap masih membutuhkan,” ujarnya dalam keterangan tulis, Selasa (13/9/2022).

Dari sisi jumlah debitur yang mendapatkan keringanan restrukturisasi kredit juga menyusut. Pada Agustus 2020, jumlah debitur yang menikmati relaksasi ini sebanyak 6,84 juta, kini per Juli 2022 hanya sebanyak 2,94 juta debitur.

"Empat puluh persen dari kredit yang direstrukturisasi karena terdampak Covid-19 telah kembali sehat dan keluar dari program restrukturisasi," ucapnya.

Secara proporsi sektoral, restrukturisasi Covid-19 per sektor terhadap total kredit yang masih di atas 20 persen merupakan sektor akomodasi, makanan, dan minuman yang mencapai 42,69 persen atau senilai Rp 126,06 triliun.

"Sektor lain yang masih terdampak adalah real estate dan sewa sebesar 17,90 persen. Kredit sektor ini masih direstrukturisasi senilai Rp 51,87 triliun," ucapnya.

Ke depan dia mengakui berbagai tantangan masih berpotensi menghalangi optimisme tersebut di antaranya masih tingginya tensi geopolitik global, disrupsi rantai pasok, tingginya harga komoditas dan energi.

"Serta efek rambatan dari peningkatan inflasi dan suku bunga yang memicu stagflasi, masih membayangi optimisme pemulihan ekonomi," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement