Rabu 14 Sep 2022 16:53 WIB

Inflasi 27 Provinsi yang Sudah Melebihi Level Nasional

Pemda harus bersiap hadapi potensi inflasi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi

Red: Indira Rezkisari
Warga memompa air tanah di depan rumahnya di tepi rel kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (14/9/2022). Presiden Joko Widodo mengajak pemerintah daerah untuk bekerja sama mengendalikan inflasi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) sehingga imbasnya pada kemiskinan dapat ditekan.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Warga memompa air tanah di depan rumahnya di tepi rel kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (14/9/2022). Presiden Joko Widodo mengajak pemerintah daerah untuk bekerja sama mengendalikan inflasi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) sehingga imbasnya pada kemiskinan dapat ditekan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Iit Septyaningsih, Antara

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas pada kenaikan pula harga-harga di Tanah Air. Inflasi saat ini terasa sulit dikendalikan.

Baca Juga

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, sudah ada 27 provinsi yang level inflasinya di atas inflasi nasional pada Agustus 2022. Ia menjelaskan, secara umum inflasi di beberapa Provinsi Sumatra seperti Jambi dan Sumatra Barat disebabkan oleh tarif angkutan udara. Lalu di Kalimantan Tengah yang memiliki level inflasi tertinggi ketiga disebabkan oleh tarif PAM.

Sementara di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk ke deretan provinsi dengan inflasi relatif tinggi. "Itu disumbang oleh tarif angkutan udara," ujar Airlangga dalam Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah Pengendalian Inflasi Tahun 2022 yang disiarkan secara online, Rabu (14/9/2022).

Dia melanjutkan, Maluku, Papua, dan Sulawesi Tengah juga masuk dalam 10 provinsi dengan inflasi tertinggi secara nasional. "Kemarin seluruh daerah yang inflasinya tertinggi dan terendah sudah diundang ke istana untuk menemui Pak Presiden," kata dia.

Inflasi di berbagai daerah tersebut utamanya disumbang pula oleh tarif angkutan daerah, kenaikan harga minyak goreng, bawang merah, dan Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT). Airlangga menjelaskan, Inflasi BBRT disebabkan oleh penyesuaian harga energi nonsubsidi oleh Pemerintah.

"Sementara inflasi tarif angkutan udara tidak setinggi periode sebelumnya secara yoy karena harga avtur telah melandai, meskipun masih lebih tinggi dibanding Maret 2022," jelasnya. Sedangkan Inflasi minyak goreng tercatat lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya secara tahunan atau year on year (yoy). Dijelaskan, itu karena pengaruh dari upaya stabilisasi harga dan ketersediaan minyak di pasar, seperti penerapan aturan DPO dan DMO.

Didorong pula oleh upaya pemerintah dalam meluncurkan minyak goreng kemasan murah, Minyakita, dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 14 ribu per liter. Ia juga menyatakan, inflasi bawang merah juga melandai secara yoy.

Airlangga menyebutkan, penurunan tekanan inflasi bawang merah ini didukung oleh peningkatan pasokan seiring dengan panen di beberapa sentra produksi bawang merah, seperti Jawa Tengah, yaitu di Kota Purwodadi, Brebes, dan Cirebon. Selain itu juga di kota-kota Jawa Timur, yaitu Nganjuk, Demak dan Probolinggo. Hingga di Aceh, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan.

Ia mengingatkan pemerintah daerah bersiap menghadapi potensi inflasi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal 3 2022. "Kita harus siap inflasi kita nanti akan sedikit lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi. Karena itu yang bisa kita kontrol, harus kita kontrol, yaitu administred price dan pangan terutama kerjasama antar pangan di daerah," kata Airlangga.

Ia menuturkan dalam empat bulan ini hingga 2022 berakhir, Indonesia akan menghadapi target-target inflasi yang secara nasional untuk pangan di bawah 5 persen. Hal tersebut lantaran sundulan inflasi dari sektor energi itu bisa berkisar 1,6-2 persen.

Kenaikan harga BBM, lanjutnya, membuat pemerintah menaikkan besaran subsidi. Contohnya kebutuhan subsidi Pertalite yang awalnya dipatok di 23 juta kiloliter itu sudah naik ke 29 juta kiloliter. Demikian juga kebutuhan solar yang 15 juta kiloliter menjadi 17 juta kiloliter. Akibatnya subsidi yang dipatok Rp 502 triliun meningkat ke Rp 698 triliun.

"Kalau kita tekan ini turunnya juga tidak terlalu banyak, kadang kita menurunkan di tiga bulan terakhir, sehingga tentu ini menjadi tantangan bagi pemerintah," ujar dia.

"Bapak Presiden minta ini agar terus dimonitor seperti kita memonitor Covid-19. Kita monitor terutama di pasar-pasar, karena ini tentu menjadi hal yang sangat mempengaruhi dimana perekonomian kita tumbuhnya kemarin 5,4, persen, mungkin kuartal ketiga angkanya ya mirip-mirip, year to date kira-kira 5,2."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement