Rabu 14 Sep 2022 23:59 WIB

KLHK Siap Selidiki Dugaan Kebocoran Gas Klorin yang Racuni Warga

Kebocoran gas dari pabrik di Karawang diduga menyebabkan keracunan massal

Rep: Febryan A/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menyelidiki dugaan kebocoran gas klorin dari sebuah pabrik di Karawang, Jawa Barat. Kebocoran gas berbahaya itu diyakini telah mengakibatkan warga sekitar pabrik mengalami keracunan massal.
Foto: Dea Alvi Soraya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menyelidiki dugaan kebocoran gas klorin dari sebuah pabrik di Karawang, Jawa Barat. Kebocoran gas berbahaya itu diyakini telah mengakibatkan warga sekitar pabrik mengalami keracunan massal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menyelidiki dugaan kebocoran gas klorin dari sebuah pabrik di Karawang, Jawa Barat. Kebocoran gas berbahaya itu diyakini telah mengakibatkan warga sekitar pabrik mengalami keracunan massal.

"Besok akan kita turunkan tim ke lapangan (untuk mengecek dugaan kebocoran tersebut)," kata Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro kepada Republika, Rabu (14/9). 

Sigit tak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelidiki dugaan kebocoran tersebut. Sebab, pengusutan ini berkaitan dengan hal-hal teknis dan sangat bergantung pada kesigapan tim. 

Sebelumnya, gas klorin dari PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills II diduga bocor sejak Rabu (14/9) subuh. Alhasil, sejumlah warga Kampung Cigempol, Desa Kutamekar, Kecamatan Ciampel, Karawang mengalami keracunan massal pada pagi harinya. 

Warga merasakan gejala yang sama, yakni pusing, mual dan mata perih. Petugas desa lantas membawa mereka ke rumah sakit dan klinik untuk mendapatkan penanganan medis. "Rasanya pusing dan mual. Bahkan mata terasa perih," kata Sapti (58), salah satu korban. 

Suhendar (25), korban lainnya, mengatakan peristiwa keracunan akibat kebocoran gas klorin pabrik tersebut bukan kali ini saja terjadi, tapi rutin setiap tahun. "Kejadian parah pada 2018, selama setahun itu dua kali berturut-turut sampai ada 60 orang lebih korbannya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement