Rabu 21 Sep 2022 17:01 WIB

Belajar Dari Masa Lalu, Menatap Masa Depan

(Catatan Menuju Muktamar PERSIS ke 16)

Red: Rahmat Santosa Basarah
logo persis
Foto: google
logo persis

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh 

Aay Mohamad Furkon, Wakil Sekretaris Umum PP PERSIS

Jeje Zaenudin, Wakil Ketua Umum PP PERSIS

 

Pada bulan ini di tahun depan, usia organisasi massa (ormas) Persatuan Islam (PERSIS), akan genap seratus tahun (1923-2023). Onak dan duri telah dilalui oleh PERSIS dalam mengarungi jihad dakwahnya di Indonesia. Diakui atau tidak, PERSIS terbilang sebagai salah satu ormas penyumbang saham bagi tegaknya republik Indonesia ini, karenanya menjaga, merawat, dan mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bagian dari tanggungjawab Gerakan dakwahnya.  

Keberlangsungan PERSIS hingga hari ini tidak dapat dipisahkan dari pilihan jalan dakwahnya yang kemudian menempuh cara berjamiyah, dengan cara berorganisasi massa. Di dalam dakwah ormas tentu tidak dapat dipisahkan dari berbagai dinamika, dinamika yang dengan pengelolaan yang baik bermanfaat bagi PERSIS bagaikan vitamin yang dapat menambah kesehatan dan vitalitas dalam berdakwah.

PERSIS menyadari bahwa perubahan merupakan sebuah sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Sebab pergeseran waktu dan pergantian zaman berakibat kepada tuntutan perubahan. Apalagi jika perjalanan waktu itu sudah ditempuh cukup jauh, seperti perjalanan menuju satu abad ini, maka hajat atas perubahan pun semakin besar pula. Hanya saja dalam menyikapi tuntutan perubahan itu, PERSIS selalu memperhatikan stabilitas dan keberlangsungannya, sebab perubahan tanpa memperhatikan keberlangsungan, maka sama artinya perubahan adalah kemusnahan. 

Melakukan perubahan dalam koridor keberlangsungan ini tak bisa dilepaskan oleh PERSIS, dan merupakan sebuah keniscayaan dari kesadaran kolektif sebagai bagian dari masyarakat muslim yang terpatri dengan kaidah umum yang hampir universal, Al muhafadhatu  ‘ala al qadîm al shâlih wal akhzu bi al  jadîd al ashlah, dimana perubahan tidak boleh tercerabut dari nilai-nilai kebaikan yang lebih dahulu mengakar;  melainkan tetap merawat  nilai, norma, dan tradisi baik masa lampau sebagai legacy yang menjadi dasar pijakan dan kerangka perubahan yang lebih baik lagi bagi masa depan.

Meskipun hal itu merupakan kaidah tua dalam sejarah masyarakat muslim, tapi baru abad keduapuluh, para ilmuwan barat merumuskan secara ilmiah tentang keberlangsungan dan perubahan dalam aksi organisasi, sebagaimana dirumuskan oleh James G. March dkk, dalam jurnal yang diterbitkan oleh Cornell University dengan judul Continuity and Change in Theories of Organizational Action.  Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Arnold J. Toynbee sejarah adalah  to study the past to build the future, peristiwa masa lalu umumnya dijadikan sebagai sebuah pembelajaran untuk hidup di masa depan. Karenanya, sebelum menatap masa depan PERSIS sebagai Gerakan pemikiran dan dakwah Islamiah, ada baiknya  kita juga menengok PERSIS selama 100 tahun ke belakang.

 

Evolusi Persatuan Islam (PERSIS)

Selama 100 tahun perjalanan dakwah PERSIS, dapat dibagi kepada beberapa perkembangan gerakannya. Secara sederhana, garis besar fase yang dialami PERSIS adalah sebagai berikut;

Fase pertama, pra institusionalisasi. Fase ini merupakan fase sebelum pembentukan PERSIS sebagai lembaga dakwah atau organisasi. Hal ini terjadi antara 1910-1923, Persis pada saat itu hanya kelompok kajian yang dipimpin K.H. Muh. Zam-zam yang pulang dari belajar dari Mekkah yang kemudian jadi guru agama di lembaga pendidikan Dar al Muta’allimin, dan H. Muh. Yunus, seorang ahli agama yang juga pedagang.  Keduanya membuka kajian keislaman yang terkait isu-isu penyebab kemunduruan dunia Islam dan pentingnya menyelidiki Kembali praktik dan pengamalan ajaran Islam di tengah masyarakat muslim saat itu. Pada fase ini benih-benih pemikiran pembaharuan Islam baru saja disemaikan di Bandung Jawa Barat.  

Fase kedua, fase institusionalisasi atau pelembagaan pada tahun 1923-1942. Dimana para pemimpin forum kajian ini memandang perlu ada lembaga formal sebagai wadah berkumpul yang sah. Maka didirikanlah perkumpulan dengan nama Persatuan Islam yang disingkat PERSIS dengan harapan menjadi spirit bagi upaya mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran yang sama yaitu berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah, sekaligus mengidealkan terciptanya kehidupan beragama yang “persis” meneladani Nabi Muhammad Saw.  Namun demikian, PERSIS sebagai sebuah lembaga perkumpulan Islam baru mendapat surat pengesahan resmi dari Badan Kehakiman Belanda pada tahun 1939. 

Dasar utama pendirian perkumpulan PERSIS pada saat itu, bukan untuk menyusun kepengurusan organisasi hingga ke berbagai pelosok, bukan juga untuk memperbanyak perekrutan anggota, tetapi semata untuk mengorganisir potensi para aktivis guna memperkuat serta mempercepat gerakan penyebaran pembaharuan pemikiran keislaman di Jawa Barat Khususnya dan di Indonesai pada umumnya.  

Konsekwensi dari kebutuhan akselerasi penyebaran paham pembaharuan itulah maka dengan berbekal pengalaman para aktivis PERSIS di bidang percetakan dan penerbitan serta kemampuan para tokohnya dalam menuangkan pemikiran mereka dalam tulisan, maka muncullah beragam produk pemikiran yang disebarluaskan melalui tulisan dan cetakan. Baik itu berupa buku, majalah, jurnal, brosure ataupun sejenis bulletin.  

Terbitan reguler PERSIS dalam bentuk majalah yang pertama dicetak dan diterbitkan dengan nama Pembela Islam terbit tahun 1929 sampai pada masa pemberedelan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935. Selain itu diterbitkan juga semacam jurnal yang diberi nama antara tahun 1931 sampai dengan 1932.  Kemudian majalah Al Lisan yang dikatagorikan sebagai pengganti majalah Pembela Islam setelah ditutup oleh Belanda tahun 1935 dan terus dipertahankan sampai pada tahun 1942. Pada tahun 1937 koleksi artikel-artikel dalam Pembela Islam yang menonjol dan mendapat respon luas dari berbagi kalangan diterbitkan dengan nama bundel Lasykar Islam. Kemudian pada tahun 1939 diterbitkan majalah baru dengan nama Al-Hikam. 

Pada masa ini dapat dikatakan, cita-cita PERSIS untuk menyebarkan gagasan dan paham pemurnian serta pembaharuan paham Islam dengan cepat dan luas mendapatkan keberhasilannya, dimana gagasan pemurnian dan pembaharuan memperoleh respon yang luas dan antuasias dari berbagai kalangan bangsa muslim Indonesia, hingga ke negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara; baik yang setuju ataupun yang tidak setuju, sehingga melahirkan kegairahan, dialektika, dan dinamika pemikiran keagamaan yang positif.     

Meski gebrakannya dengan senjata penerbitan dan tantangan berpolemik di media massa, hingga berdebat terbuka dalam mencari pemahaman yang paling tepat dan benar tentang suatu tema ajaran Islam dari tinjauan Al-Quran dan hadits sahih cukup menggelegar hingga ke bebagai provinsi dan pulau di Nusantara saat itu. Meski sangat populer, namun PERSIS sebagai organisasi tetaplah kecil dan jumlah anggota resminya sedikit. Bahkan banyak aktivis dan simpatisanya lebih nyaman bergabung secara formal dengan organisasi kemasyarakatan lainnya yang memiliki garis pemahaman keagamaan yang kurang lebih sama semisal Muhammadiyah, Al Irsyad, dan Syarikat Islam. 

Fase ketiga, masa revolusi dan kavakuman organisasi.  Fase isi di mulai sejak datangnya penjajah Jepang 1942 hingga 1948. Pada fase ini PERSIS sebagai organisasi mengalami kevakuman akibat kebijakan politik Jepang hingga masa-masa genting revolusi kemerdekaan. Kebijakan represif Jepang terhadap gerakan Islam sangat besar pengaruhnya dalam mematikan kreativitas dakwah PERSIS yang bertumpu pada penerbitan dan diskusi serta kelompok-kelompok kajian. Di sisis lain tuntutan perjuanga fisik semakin mendesak dengan terjadinya perang Jepang melawan Sekutu hingga perjuangan merebut kemerdekaan. Pada umumnya para ulama dan pengurus serta anggota PERSIS mengisi kevakuman organisasi dengan bergabung pada laskar-laskar perjuangan kemerdekaan terutama bergabung dengan Hizbullah dan Sabilillah. 

Fase keempat, reorganisasi. Tiga tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tegasnya mulai tahun 1948 PERSIS sebagai organisasi kembali dihidupkan. Di bawah kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary yang terkenal dengan panggilan “Singa Podium”, PERSIS dibangkitkan lagi bukan sekedar organisasi pergerakan pemikiran tetapi sekaligus sebagai organisasi yang terlibat dalam gerakan sosial dan politik secara instens. 

Selama fase ini yang berlangsung kurang lebih 14 tahun, dinamika PERSIS sebagai jamiyah atau organisasi pergerakan sangatlah dinamis. Seiring dengan situasi nasional yang sangat panas dan penuh gejolak politik, terutama kuatnya pengaruh PKI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mendorong PERSIS untuk aktif penuh di partai politik dengan menjadikannya sebagai anggota istimewa Partai Masyumi. Masa-masa perlawan terhadap propaganda PKI khususnya di daerah Jawa barat mendorong Ketua Umum PERSIS saat itu untuk menghidupkan lagi penerbitan-penerbitan yang menjelaskan hakikat ajaran komunis. Tidak sampai di situ, sebagai Ketua Umum PP PERSIS KHM. Isa Anshary membentuk “Front Anti Komunis” pada tahun 1954. 

Kelima, Fase isolasi dan ideologisasi. Pada fase ini penguatan dan ideologisasi gerakan dakwah sangat kental ke dalam, sebagai sebuah strategi memproteksi jamaah dari situasi dan kondisi kebijakan politik nasional yang cenderung represif terhadap umat Islam. PERSIS menemukan figur pemimpin yang tepat pada masanya itu, K.H.E Abdurahman, seorang ulama fiqih yang memiliki kharisma mengagumkan.   

Pada fase ini, PERSIS berhasil merumuskan lebih jelas karakter gerakan pemikiran fikih dan dakwahnya dalam iklim masyarakat Jawa Barat, meskipun mengalami penurunan pergerakan dan aktivitas jamiyahnya di luar Jawa Barat. 

Keenam fase konsolidasi dan transformasi. Sepeninggalan Ustadz K.H.E Abdurahman Abdurahman, PERSIS kembali berbenah organisasi dengan mengkonsolidasikan atau menghidupkan kembali PW-PW dan PD-PD di berbagai daerah. PERSIS di bawah kepemimpinan Ustadz Latif Mukhtar berkeliling ke seluruh Indonesia dan menghidupkan kembali cabang-cabang PERSIS. Dengan jaringan luar negeri yang diberikan oleh Pak Natsir, Ustadz Latif Mukhtar mendirikan masjid-masjid di berbagai provinsi, dimana disitu ada kader atau cabang PERSIS.

Selain itu, PERSIS mulai melakukan transformasi dari pemikiran kepada gerakan ormas. Hal ini ditegaskan setelah muktamar PERSIS di Garut 1990 yang menegaskan PERSIS bertransformasi dari gerakan pemikiran kepada gerakan Ormas. Pada tahap ini PERSIS bukan hanya memikirkan masyarakat, namun sudah mulai berpikir bagaimana menata masyarakat. Fase ini dipimpin oleh Ustadz Latif Muchtar sejak medio 1983 – 1997.

Fase ekspansi dan pengokohan PERSIS sebagai gerakan Ormas. Fase ini sepeninggalan Ustadz Latif Mukhtar digantikan oleh Ustadz Shidiq Amin hingga saat ini di bawah kepemimpinan Ustadz Aceng Zakaria. Ustadz Shidiq melanjutkan beberapa program peninggalan Ustadz Latif. Diantaranya menghidupkan cabang-cabang di daerah, membentuk badan ekonomi BPRS Amanah Rabbaniyah, melanjutkan perguruan tinggi dll.

Setelah Ustdaz Shidiq, berganti pimpinan kepada Ustadz Maman Abdurahman masih sama melanjutkan program yang ditinggalkan sebelumnya. Saat ini dalam kepemimpinan ulama kharismatik Ustadz Aceng Zakaria, PERSIS semakin menguatkan sebagai gerakan ormas yang tidak semata-mata pada gerakan pemikiran pembaharuan, tapi gerakan sosial kemasyarakatan. Di bawah kepemimpinan Ustadz Aceng Zakaria pertumbuhan Jamiyah sejak 2015 sangat eksponensial di berbagai daerah di Indonesia.  Demikian juga di dunia Pendidikan mengalami kemajuan signifikan.

 

Menatap Masa Depan

Belajar dari masa lalu, kini saatnya menatap masa depan. Seorang sutradara film Edward Zwick dalam filmnya yang berjudul The Last Samurai, menorehkan catatan. Sebagaimana disampaikan raja Jepang dalam film tersebut we have to modernize, but we have to know who we are, kita harus modern, tapi kita harus tahu siapa diri kita. Dalam kontek PERSIS, PERSIS akan terus mengalami ekspansi ke seluruh pelosok negeri ini, namun PERSIS juga tidak akan meninggalkan khittah awal PERSIS sebagai gerakan pemikiran. 

Dalam menatap masa depan ada beberapa hal yang akan diperhatikan oleh PERSIS. Pertama, tetap berbasis pemikiran. PERSIS sebagai gerakan ormas berbasis gerakan pemikiran, dalam melakukan ekspansi PERSIS kan selalu bersandar atau bertapak pada fondasi keilmuan atau pemikiran. Fondasi keilmuan yang akan dibangun oleh para pemikir PERSIS akan selalu kembali kepada al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana diinterpretasikan oleh para ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama kontemporer. Selain itu, para pemikir PERSIS juga tidak akan pernah ragu untuk melakukan tafsir teks kepada kontekstul pada saat ini. Dengan demikian sebagai gerakan pemikiran pembaharu, PERSIS akan selalu hadir dalam memberikan solusi bagi masalah keumatan. 

Kedua, kemandirian ekonomi. Mengelola organisasi massa jauh lebih sulit dibandingkan mengelola pemerintahan. Mengelola pemerintahan jelas ada anggaran dari APBN, sementara mengelola organisasi massa tak mempunyai APBN. Jadi pejabat pemerintah dengan segenap fasilitas dari uang rakyat, sementara pemimpin organisasi massa Islam harus mewaqafkan diri dan keluarganya untuk kemajuan organisasi.

Kemandirian ekonomi merupakan tradisi PERSIS yang sekarang mungkin agak terlupakan oleh Jamaah PERSIS. Kalau kita bercermin kepada para pendiri PERSIS, baik K.H.Zam-Zam maupun K.H. Muhamad Yunus keduanya adalah pedagang, yang membiayai kenduri dari kantongnya sendiri. Demikian juga dengan Tuan Hassan, guru utama PERSIS, beliau menulis, mengedit, mencetak hingga menjual buku dan majalahnya dilakukan sendiri. Sehingga karakter pemikir PERSIS pada jamannya analisanya tajam dan tidak bisa ‘dibeli’ baik oleh ekonomi, politik, sosial atau apapun. Sebab para tokoh PERSIS adalah orang-orang yang mandiri secara ekonomi.

Tradisi ekonomi mandiri inilah yang harus dihidupkan kembali oleh Jamaah PERSIS ke depan. Potensi yang ada di Jamaah PERSIS sungguh luar biasa sekali, mulai dari konveksi, peternak, petani serta pedagang dalam maupun luar negeri. Namun semua berjalan masing-masing, belum ada sinergitas antara individu dengan organisasi, sehingga potensi ini belum menjadi kapital ekonomi bagi kemajuan organisasi PERSIS.

Tanpa ekonomi yang mandiri, maka keberlangsungan dakwah akan sangat sulit. Dakwah ketika menghadapi kabatilan atau kedhaliman akan bersuara sumbang. Dakwah tanpa ekonomi yag mandiri akan selalu didikte oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Kemandirian ekonomi menjadi prasyarat utama dalam legacy PERSIS untuk izzul Islam wal Muslimiin.

Terakhir, hal yang harus segera (urgent) untuk segera diselesaikan adalah konsolidasi dan ekspansi Jamiyyah. Tak bisa dinafikan alumni dari pesantren atau sekolah PERSIS jumlahnya ratusan ribu. Sebagian ada yang berkiprah secara struktural di PERSIS, namun jauh lebih banyak ‘orang PERSIS’ yang tidak berkiprah di struktural organisasi, atau sering disebut sebagai PERSIS kultural. 

Potensi PERSIS kultural maupun struktural perlu dikonsolidasikan dan disinergikan. Dulu ada istilah alumni PERSIS Bangil dan alumni PERSIS Bandung, seiring berjalannya waktu dengan upaya konsolidasi sekarang tak ada lagi sekat antara PERSIS Bangil dan Bandung. 

Dari konsolidasi dan sinergi inilah ekspansi PERSIS secara organisatoris dapat dilakukan. Tak sedikit alumni pesantren PERSIS yang berada di berbagai pulau di Indonesia kini kembali bergabung dengan PERSIS dan mendirikan PC, PD maupun PW.

Dalam hal ekspansi PERSIS bukan sekedar penambahan jumlah secara kuantitatif, namun harus dibarengi dengan peningkatan kualitas kelembagaan tersebut. Terbentuknya PC, PD serta PW harus dibarengi dengan infrastruktur dasar organisasi yaitu berupa masjid dan majlis talim sekurang-kurangnya. Lebih bagik lagi kalau oleh masjid dan madrasah diniyah (setingkat SD) untuk tingkat PC. Sementara untuk tingkat PD dibarengi infrastruktur masjid dan tsanawiyah atau yang sederajat dan tingkat PW harus mempunyai masjid dan pendidikan aliyah atau yang sederajat.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa PERSIS sebagai gerakan pemikiran pembaharu ‘tajdid’ tidak akan pernah berhenti, tentu saja akan selalu mengikuti corak jamannya. PERSIS akan selalu memberikan solusi bagi persoalan umat dan bangsa ini dalam menghadapi berbagai persoalan keagamaan dan kebangsaan.

Tahapan ekspansi dan konsolidasi akan terus dilakukan PERSIS ke berbagai penjuru tanah air. Namun ekspansi PERSIS akan selalu dibarengi dengan basis gerakan PERSIS itu sendiri yaitu masjid dan sekolah. Jamaah PERSIS meyakini bahwa dakwah ke masyarakat sebagai bagian dari edukasi harus dilakukan secara berkelanjutan di semua tempat dan waktu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement