Kamis 22 Sep 2022 19:01 WIB

BI: Inflasi 2022 Diproyeksi di Atas 6,0 Persen

Inflasi inti diproyeksi mencapai 4,6 persen pada akhir 2022.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi (ilustrasi)
Inflasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memproyeksikan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) 2022 akan melebihi enam persen dan inflasi inti melebihi empat persen. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan suku bunga pada Kamis (22/9/2022) sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen untuk menjangkau inflasi inti lebih terkendali di bawah empat persen pada kuartal II 2023.

"Kenaikan 50 bps ini besar di depan atau front loading, pre-emptive dan forward looking, mengingat kebijakan suku bunga baru akan berefek atau tertransmisi empat kuartal mendatang pada inflasi inti," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (22/9/2022).

Baca Juga

Perry mengatakan, inflasi inti diproyeksi mencapai 4,6 persen pada akhir 2022 akibat dampak rambatan dari inflasi pangan bergejolak, administered price, dan ekspektasi inflasi. Sehingga kenaikan suku bunga harus dilakukan sekarang untuk menjangkar inflasi inti pada sasaran 2-4 persen di tahun depan.

Ia menyebut tekanan inflasi akan terus meningkat seiring dengan kenaikan BBM pada awal September 2022 lalu. Ini akan terlihat pada kenaikan inflasi mulai September yang diproyeksi 5,8 persen menurut survei pemantauan harga BI, hingga akhir tahun. Dampak rambatan ini akan terlihat hingga tiga bulan kedepan.

Menurutnya, kenaikan inflasi akan terasa paling tinggi pada September karena dampak langsung kenaikan harga BBM, ditambah kenaikan tarif angkutan udara. Pada awal 2023, diproyeksikan inflasi akan kembali melandai.

Perry menekankan langkah-langkah pengendalian terus dilakukan baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Seperti dengan sinergi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), pemberian bantuan sosial, dan lainnya.

Kenaikan suku bunga juga sebagai langkah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Selama ini, telah dilakukan intervensi di pasar valuta asing seperti transaksi spot, DNDF, hingga pembelian dan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

"Dengan kenaikan BI-Rate, tentu kita harap nilai tukar rupiah akan kembali ke fundamentalnya, karena current account deficit kita sangat rendah, neraca pembayaran sangat baik, harusnya nilai tukar menguat," katanya.

Langkah moneter juga dilakukan dengan operasi pasar agar kenaikan BI-rate tidak serta merta menaikan yield SBN. BI melakukan operasi dengan menjual SBN jangka pendek agar yield naik. Ini akan membuat portofolio asing masuk sehingga memperkuat nilai tukar rupiah.

Yield SBN jangka panjang juga dikendalikan dengan pembelian agar kenaikannya tidak terlalu tinggi. Ini mempertimbangkan dengan asumsi kenaikan tingkat inflasi adalah jangka pendek.

Perry menambahkan, kenaikan suku bunga yang cukup tinggi 0,5 persen itu juga mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi. Pada kuartal III 2022, pertumbuhan ekonomi diproyeksi bisa mencapai 5,5 persen karena permintaan domestik yang masih kuat.

"Kekuatan permintaan domestik masih tetap kuat, mobilitas tinggi, konsumsi swasta bisa capai enam persen, makanya kita naikkan 50 bps," katanya.

Kedepan, BI mengindikasikan tidak ada kenaikan suku bunga yang cukup tinggi lagi hingga akhir tahun. Namun demikian, BI terus memantau perkembangan baik domestik maupun global, dari bulan ke bulan. BI juga akan kerahkan instrumen kebijakan lainnya untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi nasional.

"Inflasi kita relatif terkendali, dan kebutuhan kenaikan suku bunga yang lebih agresif tentu saja tidak diperlukan di Indonesia," katanya.

BI memproyeksikan penurunan ekonomi global akan lebih besar di 2023. Masih karena gangguan rantai pasok global, proteksionis di beberapa negara, geopolitik, kenaikan suku bunga agresif.

Dunia bisa tumbuh 2,8 persen pada 2022 dengan 2,7 persen pada 2023. Amerika Serikat diprediksi juga tetap tumbuh 2,1 persen pada 2022 dan 1,5 persen pada 2023. Eropa tumbuh 2,1 persen pada 2022 dan 1,25 persen pada 2023. Sementara China bisa tumbuh 3,2 persen pada 2022, dan 4,6 persen pada 2023.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement