Rabu 28 Sep 2022 11:23 WIB

Transformasi Mindset: Saatnya GuruSaurus Menjadi GuruLaurus

Bila pendidik punya persepsi negatif pada dirinya maka dia akan ditinggal.

Red: A.Syalaby Ichsan
Guru di sebuah sekolah di Harare, Zimbabwe kembali mengajar. Ilustrasi.
Foto: EPA
Guru di sebuah sekolah di Harare, Zimbabwe kembali mengajar. Ilustrasi.

Oleh : Takdir Alim Syah (Pendidik di Sekolah Alam Indonesia)

 

Tidak ada yang lebih membuat murid gembira selain berhasil mempelajari sesuatu. Dan tidak ada yang membuat seorang guru gembira selain menemukan cara untuk mengajari muridnya

                                                                                  (Andrea Hirata-Guru Aini)

REPUBLIKA.CO.ID,Dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari kemajemukan kehidupan. Bila ada yang mengatakan bahwa dirinya dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, itu dusta! Manusia pasti membutuhkan bantuan dari orang lain. Sudah terbukti, sejak lahirnya ke dunia, tidak mungkin kita mampu hidup secara mandiri. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya, yang ketika hadir ke dunia sudah memiliki kemampuan untuk bertahan hidup.

Kita, sebagai manusia, harus melewati proses panjang hingga akhirnya mampu menyadari bahwa kehidupan butuh keterampilan. Sedangkan keterampilan butuh ilmu dan ilmu didapat dari belajar.

Nah, sekarang kita coba urai satu per satu. Belajar menurut KBBI (https://kbbi.web.id/belajar) adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Dalam prosesnya, belajar pastinya membutuhkan sumber dan lingkungan yang tepat agar tujuan belajar untuk memperoleh kepandaian dan ilmu dapat terwujud.

Kita sebagai manusia membutuhkan interaksi sosial, dalam hal ini interaksi antara pengajar (orang yang mengajar) dan pembelajar (orang yang mempelajar) adalah sebuah keniscayaan. Namun, interaksi saja tidaklah cukup. Melainkan perlu berkualitas dan juga memiliki visi dan misi yang membangun.

Kalau kita coba menilik sedikit saja kondisi pendidikan kita saat ini, maka akan banyak muncul berita negatif di dunia pendidikan di negeri ini. Sering kita dengar kasus pemukulan oleh pendidik kepada peserta didik, penganiayaan yang dilakukan oleh pendidik juga sering lalu lalang di media sosial. 

Pendidik selalu (kalau boleh dikatakan begitu) dalam setiap sesi pertemuannya, menyampaikan kepada para peserta didik untuk melakukan hal yang baik dan positif dalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana bila pendidik itu tidak melakukan hal yang selalu disampaikan kepada peserta didik? 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ludfi Ono (@onoludfi)

Proses belajar adalah sebuah keniscayaan oleh setiap dari kita. Pendidik memang individu yang berbeda satu dan yang lainnya, begitu pula karakter dan nilai-nilai yang dibawa oleh masing-masing dari mereka. Kalau “klop” maka akan menghasilkan individu yang hebat. Namun, sebaliknya akan menghancurkan masa depan bangsa. Bagaimana bila ada persepsi yang memberikan halo effect dari peserta didik kepada pendidik karena berbagai informasi negatif yang menyelimutinya?

Kasus kekerasan di dunia pendidikan, terutama ketika guru melakukan kekerasan kepada murid dapat dikategorikan menjadi tiga sisi. Sisi pertama melihat kelemahan murid, dengan menggunakan legitimasi yang dimilikinya, guru seringkali menggunakan kekerasan kepada siswa, karena guru beranggapan bahwa murid tidak berusaha memenuhi harapan guru.

Pada sisi kedua, terjadinya kekerasan pada murid dilihat sebagai akibat dari kelemahan guru. Penyebab kekerasan terhadap murid bisa terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan itu sendiri dan akibat negatifnya. Sisi ketiga melihat terjadinya kekerasan murid karena kelemahan sistem dan metode pembelajaran, termasuk kelemahan lembaga pendidikan yang menghasilkan guru serta lembaga yang berwenang menetapkan isi dan kurikulum pendidikan. (https://news.unair.ac.id/2019/11/18/menilik-akar-penyebab-kekerasan-di-sekolah/)

Bila mengacu kepada tulisan di atas, maka poin ke dua dan ke tiga menjadi hal yang perlu untuk mendapatkan perhatian lebih bagi kita. Karena kondisi kekerasan itu disebabkan oleh ketidaktahuan guru dan kelemahan sistem pendidikan dan metode pengajaran, khususnya lembaga pendidikan yang menghasilkan guru yang berkualitas. 

Guru di sekolah tuh macem-macem jenisnya. Ada yang asik dan bisa akrab sama kita para murid, ada juga yang sering bikin dahi mengernyit karena aksinya suka “ajaib” alias sulit dimengerti. Ada yang nggak jelas ngajarin apaan, ada juga guru yang datang tiba-tiba dengan muka yang tidak bersahabat terus marah-marah.  Bener, kan?! (https://hai.grid.id)

Bila memang pendidik memiliki persepsi negatif pada dirinya, maka bukan tidak mungkin pendidik itu akan ditinggal oleh peserta didiknya. Ada istilah: pendidik abad 19, sekolah abad 20, dan peserta didik abad 21. Pendidik yang selalu mengajar dengan cara yang itu-itu saja, metode yang monoton, jauh dari inovasi pendidikan, dan selalu merasa “si paling benar” maka tidak tertutup kemungkinan pendidik itu akan “punah”, hilang dari perasaan peserta didik. Peserta didik akan mencari sumber ilmu dari sumber lain. Pola pendidikan yang tidak bisa mengikuti tantangan zaman peserta didik saat ini akan semakin ditinggal oleh zaman itu sendiri. 

photo
Siswa dan guru madrasah (ilustrasi). - (Dok Republika)

 

Menurut Pak Ludfiono, Education VP Sekolah Alam Indonesia, dalam akun Instagram miliknya mengatakan bahwa Panta Rhei, satu-satunya yang konstan dalam hidup ini adalah perubahan. Ada istilah “guru saurus” dan “sekolah saurus”. Hal itu menganalogikan elemen pendidikan yang akhirnya akan ditinggalkan karena tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman. Belajar dan terus belajar adalah kunci untuk pengembangan diri. Lifelong learning  sejatinya kita terapkan pada diri sebelum siswa dan anak kita.

Dunia sudah melewati lima kali kemusnahan global dan salah satunya adalah musnahnya dinosaurus di muka bumi ini. Setelah itu dilanjutkan dengan munculnya manusia di muka bumi. Lalu apakah analogi itu dapat juga digunakan di dunia pendidikan kita, khususnya kita sebagai pendidik? Apakah kita akan tetap seperti “ini-ini saja” tanpa mau mentransformasi mindset kita dan menjadi “guru saurus”, ditinggal dan dilupakan oleh zaman? Ataukah menjadi “guru laurus”, membengkokkan mindset kita agar lebih fleksibel menerima perkembangan zaman sehingga dapat menemukan metode-metode yang brilian dalam pendidikan? Semua itu dikembalikan kepada kita.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement