Senin 03 Oct 2022 19:42 WIB

Memperingati Hari Batik dan Sejarahnya di Tengah Duka

Hari Batik yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober bukan tanggal pertama kali batik diciptakan atau batik ditemukan.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Produk fesyen dari batik gambo. (FOTO : Diskominfo Muba)

KAKI BUKIT – Pada 2 Oktober 2022 kembali kita memperingati Hari Batik. Kali ini kita memperingatinya di tengah negeri tercinta dilanda duka cita. Ada ratusan nyawa anak bangsa terenggut di stadion Kanjuruhan, Malang usai pertandingan kompetisi Liga 1 Indonesia. Data resmi pertama dilansir di media massa ada 127 orang penonton atau Aremania meninggal dunia.

Kemudian Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Efendi menyatakan korban meninggal dunia akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur sebanyak 130 orang.

Pada 2 Oktober kita memperingati Hari Batik dengan berbaju batik di bawah awan hitam yang menutup negeri ini dan air mata sanak keluarga yang kehilangan anggota keluarga tercinta.

Hari Batik yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober bukan tanggal pertama kali batik diciptakan atau batik ditemukan. Hari batik bermula pada Akhir September dan awal Oktober tahun 2009 ketika badan dunia Unesco memberikan pengakuan internasional kepada batik Indonesia yang masuk dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia.

Pengakuan salah satu badan PBB tersebut secara resmi pada sidang Unesco di Abu Dhabi. Sebagai ungkapan rasa bahagia, Pemerintah Indonesia menetapkan setiap tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik. Itu sejarah Hari Batik di Indonesia.

Batik adalah seni. Seni batik sudah sejak lama dikenal di Cina, Jepang, India, dan Thailand. Bahkan ada yang menulis, menduga batik bermula dari negara Cina yang menyebar ke seluruh dunia. Ada banyak literasi tentang batik, berarti beragam literasi sejarah tentang batik.

Jika membaca buku atau hasil penelitian tentang batik maka para penulisnya menulis beragam versi tentang sejarah atau asal usul batik. Satu versi menyebutkan, sejarah batik atau keterampilan membatik orang Jawa diroleh dari belajar dari kaum pendatang yang menyebarkan kebudayaan di wilayah Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa dan masuk ke pedalaman Pulau Jawa.

Versi yang lain mencatat bahwa batik berasal dari masa Kerajaan Majapahit (1293-1527). Batik yang pada awalnya bagian dari kekayaan tradisi budaya keraton, kemudian mengalami perkembangan dan menyebar ke segala kalangan masyarakat, hingga melahirkan inspirasi tentang macam-macam wahana dan ragam motifnya pada zaman sekarang. Bahkan kini, hampir seluruh provinsi mempunyai batik dengan berbagai nama dan sebutannya.

Ada versi lainnya menceritakan, tentang sebuah mitos, bahwa pada abad ke-7 seorang pangeran dari pantai timur Jenggala bernama Lembu Amiluhur memperisteri seorang puteri bangsawan dari Koromandel. Puteri itu lalu mengajari seni membatik, menenun, dan mewarnai kain kepada para dayangnya. Maka dari itu orang-orang Jawa memiliki kemampuan membatik.

Menurut Darmono dalam “Melestarikan Batik Banyumas Sebagai Warisan Budaya Nusantara” (2014), perkembangan batik di Indonesia mencapai kesempurnaan pada abad 14-15. Adapun pengaruh luar yang terdapat pada batik terjadi pada zaman Kerajaan Daha (1100-1222). Fungsi batik pada masa kerajaan Daha merupakan barang yang kepentingan kerajaan dan sebagai penunjang upacara keagamaan.

Perkembangan terjadi setelah Kerajaan Daha menjalin hubungan perdagangan dengan berbagai kerajaan lain seperti Kerajaan Sriwijaya, India, dan Tiongkok memberi pengaruh terhadap perkembangan penggunaan bahan yang digunakan batik saat itu, sepertinya mulai dikenalnya kain putih, mori dan kapas sebagai bahan sandang.

Selain secara etimologis, batik memiliki beberapa pengertian, antara lain adalah teknik pembuatannya, motif batik, bahan batik, fungsi batik serta jenis batik berdasarkan pengaruh budayanya. Secara umum pengertian batik yang didefinisikan adalah proses pembuatannya. Teknik pembuatan batik dimulai dengan pemilihan kain sebagai bahan dasarnya, selanjutnya dilakukan proses pembatikan hingga pewarnaan dengan menggunakan pewarna alam.

Batik adalah suatu karya tulis dengan lilin yang digambarkan pada sehelai kain. Lilin yang dimaksud di sini adalah campuran antara parafin, lilin lebah, gondorukem, mata kucing, dan lemak hewan dengan perbandingan tertentu. Lilin ini lazimnya disebut dengan “malam.”

Mungkin saja pendapat-pendapat itu benar. Namun menurut Inger Mc., Cone Elliot dalam bukunya “Batik Fabled Cloth of Java” mengemukakan bahwa istilah batik berasal dari kata “titik.” Menggunakan teknik rintang-warna menggunakan material-material alami seperti lilin, beras dan umbi-umbian yang dilumatkan, bahkan lumpur yang dibubuhkan pada selembar kain.


Batik juga disebut sebagai karya tulis, karena aktivitas membatik dikerjakan dengan penuh teliti seperti layaknya orang menulis. Dalam bahasa Jawa Krama Inggil, kata menulis berarti nyerat, dan membatik pun disebut sebagai nyerat. Dengan demikian, suatu kain dapat disebut sebagai batik apabila mengandung dua unsur pokok, yaitu teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik.

Menurut Solichul Hadi dan kawan-kawan dalam “Sejarah dan Teknik Pembuatan Batik” (2014) menyebutkan, secara etimologi kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa : “Amba” yang berarti “menulis” dan “Titik” yang berarti “titik.”

Solichul Hadi melengkapi penjelasannya bahwa seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Di Mesir menemukan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola.

Kemudian di Asia, teknik serupa batik juga ditemukan di Tiongkok masa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika ada teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.

Batik di Indonesia berkembang bersamaan dengan kedatangan agama Hindu. Saat itu seniman Indonesia yang belajar membuat benda-benda atau barang keperluan ibadah agama yang secara tidak langsung didapatkan pengetahuan mengenai batik di India.

Boleh jadi para pakar menyatakan bahwa batik berasal dari Cina dan/atau India. Namun dengan teknologi tradisional, batik dikembangkan oleh masyarakat Jawa dengan segala filosofinya.

Menurut Kartini Pramono dalam “Simbolisme Batik Tradisional” (1995), “Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi. Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna dan simbol. Seni batik tradisional merupakan simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena ada hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke generasi penerus sebagai pembentuk wakta dan kepribadian.

Sebagai karya seni batik di Jawa atau di Indonesia terus berkembang dengan berbagai motif serta berbagai nama sesuai dari mana batik tersebut berasal. Menurut Sewan Susanto dalam “Pendidikan Teknologi Kerumah tanggan dan Kejuruan Masyarakat” (1979), motif-motif batik Indonesia pada umumnya mempunyai dua macam keindahan. 1). Keindahan estetik atau keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang harmoni dari susunan betuk dan warna melalui pengelihatan atau panca indera. 2). Keindahan filosofi atau keindahan jiwa yaitu rasa indah yang diperoleh karena susunan arti lambang yang memuat gambar sesuai dengan paham yang dimengerti.

Masih menurut Kartini Pramono, di Jawa menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam. Pertama, batik pedalaman (juga disebut batik keraton). Batik pedalaman adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton dengan dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni sememesta alam yang serasi, tertib dan seimbang.

Kedua, batik pesisiran adalah batik yang berkembang di luar keraton dan tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Pembatik bebas untuk mengungkapkan ekspresi dalam berkaya, mengembangkan motif sesuai dengan idenya masing-masing.

Batik tumbuh dan berkembang di pulau Jawa, bahkan ada kota yang disebut sebagai kota batik, yaitu Pekalongan di Jawa Tengah. Namun Solo dan Cirebon di Jawa Barat kerap disebut kota batik, di sini dikenal dengan sebutan “batik solo” dan “batik cirebon.”

Dari berbagai jenis batik di Indonesia, dalam proses pewarnaan banyak industri batik termasuk home industri menggunakan pewarna sintetis. Dalam proses membatik, pewarnaan dengan teknik perintang pewarnaan dengan menggunakan malam. Bagian kain yang dirintangi itulah yang menimbulkan corak motif batik. Merintangi kain saat dicelupkan kedalam cairan warna menggunakan berbagai cara dan berbagai jenis bahan perintang warna.

Sejak zaman pra sejarah batik sudah mulai dibuat dengan menggunakan bahan kanji ketan sebagai bahan perintang warna. Seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi pembatikan terus berkembang, jika dahulu batik menggunakan bahan perintang kanji ketan dengan teknik dan cara yang sederhana, kini cara itu sudah tidak digunakan lagi.

Bahan perintang yang digunakan sekarang sudah menggunakan “malam.” Penempelan bahan perintang pada lembar kain merupakan langkah awal proses pembatikan. Cara membubuhkan malam batik pada lembar kain dikenal dengan beberapa cara: dituliskan dengan menggunakan alat yang disebut canting, dituliskan dengan menggunakan kuas dan dicapkan dengan menggunakan cap logam (tembaga).

Walaupun proses penggunaan pewarna alam (seperti tumbuhan) dalam teknik batik sudah dilakukan oleh nenek moyang kita secara turun temurun. Namun saat ini proses pewarnaan kain sebagai proses berikutnya setelah kain dibubuhi bahan perintang, proses pewarnaan batik alami sudah sudah banyak ditinggalkan dengan berbagai alasan.

Kini industri dan pengrajin batik menggunakan sistem yang cepat dan ekonomis dengan pilihan memakai zat-zat warna kimia karena lebih mudah pemakaiannya serta lebih luas tata warnanya. Salah satu sentra batik di Indonesia, Pekalongan merintis penggunaan pewarna kimiawi dalam membatik pada awal abad ke-20. Dampaknya, limbah cair dari pewarnaan batik menggunakan bahan pewarna sintetis menjadi masalah yang mencemari lingkungan. Apabila mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem tanah.


Gambo Muba

Majalah internasional terbitan Australia dengan cover fesyen gambo. (FOTO : Diskominfo Muba)

Dalam perkembangannya adanya batik di Indonesia, hampir seluruh daerah atau provinsi memiliki jenis kain batik selain jenis kain batik yang sudah banyak dikenal berasal dari daerah di pulau Jawa. Selama ini masyarakat ada mengenal batik Aceh sampai batik Papua. Jika di Indonesia ada 37 provinsi berarti ada 37 jenis kain batik di Indonesia.

Jumlah jenis dan ragam batik di Indonesia semakin banyak jika setiap daerah kabupaten dan kota memiliki kain khas daerahnya selain songket dengan diberi nama “batik” maka ada ratusan jenis dan ragam kain batik di Indonesia. Alangkah kaya nya jenis kain batik di Indonesia bisa lebih dari 500 jenis kain batik. Kain batik adalah identitas budaya Indonesia sekaligus sebagai salah satu warisan budaya.

Salah satu dari ratusan jenis kain batik di Indonesia, salah satunya adalah kain yang disebut “gambo” yang berasal dan berkembang di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel). Ada yang menyebut gambo itu kain jumputan, tapi ada yang lain menyebut gambo sebagai kain batik dari Muba. Gambo adalah karya kreatif batik khas dari Bumi Serasan Sekate.

Gambo muba hadir sebagai batik alternatif. Kain batik gambo diklaim sebagai batik yang ramah lingkungan atau eco-fashion. Tak urung seorang ibu negara Iriana Joko Widodo pun mengungkapkan kekagumannya terhadap gambo Muba. “Saya sangat terpukau dengan produk Gambo Muba ini. Karya orang lokal namun kualitasnya internasional,” katanya.

Tidak hanya sebatas itu, ibu negara Iriana Joko Widodo juga menyebut produk gambo Muba telah mengangkat kearifan lokal dan memberikan kontribusi positif bagi petani gambir dan pengrajin gambo Muba. “Yang membuat saya terpukau bahannya dari getah gambir dan ini tentunya sangat ramah lingkungan,” ujarnya.

Gambo Muba telah hadir sebagai alternatif batik dalam dunia fashion Indonesia, sebagai kain karya anak bangsa yang ramah lingkungan atau eco-fashion karena menggunakan pewarnaan dari limbah getah gambir yang banyak ada di Kecamatan Babattoman, Kabupaten Muba. Kain gambo Muba memanfaatkan getah gambir.

Untuk zat warna alam atau ramah lingkungan bagi bahan tekstil atau batik di Indonesia sangat kaya, salah satunya dengan memperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indigofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (Tea), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) dan jenis tumbuhan lainnya.

Gambo Muba mulai diperkenalkan pada 2016 oleh Ketua Tim Penggerak PKK waktu itu Thia Yufada, yang mulai mengadakan pelatihan teknik menjumput dan membuat kain batik dengan memanfaatkan limbah alami dari getah gambir. Pelatihan diikuti beberapa kader dari desa-desa di Kabupaten Muba.

Limbah gambir untuk pewarna gambo berasal dari Kecamatan Babat Toman salah satu kecamatan di Muba yang merupakan sentra daerah penghasil gambir. Gambir dari Muba adalah satu-satunya gambir terbaik di Indonesia. Gambir Muba juga menjadi bahan baku farmasi juga menjadi obat antibiotik alami.

Gambo Muba kemudian semakin berkembang, desainnya memiliki nilai estetika yang tinggi karena menggunakan bahan pewarnaan alami. Gambo Muba adalah awalnya adalah karya dari perempuan atau ibu-ibu rumah tangga yang menjadi salah satu sumber pendapatan ekonomi. Gambo Muba semakin berkembang pesat, ada UMKM yang telah mengusahakan produksi kain gambo dengan beragam produk fashionnya.

Gambo Muba adalah industri kreatif yang di dalamnya ada pengembangan ide, kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk mewujudkan kesejahteraan dan memnbuka lapangan pekerjaan, khususnya bagi ibu-ibu di Kabupaten Muba.

Gambo Muba pun telah mendunia. Sebagai salah satu produk batik Indonesia sudah juga melalang ke manca negara. Pada 2019 Gambo Muba diperkenalkan sampai ke benua Eropa. Di Norwegia kain gambo tampil pada Festival Indonesia yang berlangsung di Oslo. Gambo Muba juga menjadi liputan majalah internasional Ozip Magazine yang terbit di Australia. Pada majalah Ozip edisi April 2021, majalah yang tampil lux dalam rubrik Fashion mengangkat laporan dua halaman tentang Gambo Muba sebagai kain batik asal Indonesia.

Sebelumnya, pada media Ozip edisi online yang diunggah Desember 2020 telah mengangkat tentang kain jumputan asal Kabupaten Muba tersebut dalam tulisan berjudul “Mengenal Lebih Dekat Kain Jumputan Gambo Muba.”

Batik adalah kekayaan bangsa Indonesia yang diakui dunia. Batik adalah kekayaan bangsa berupa karya seni sekaligus warisan leluhur bangsa dan menjadi ciri khas Indonesia di kancah pergaulan dunia internasional. (maspril aries)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement