Rabu 05 Oct 2022 12:34 WIB

Mengenal Serba-serbi Kemasan Makan dan Minuman

Dalam setiap bahan pembungkus makanannatau minuman, selalu ada risiko migrasi bahan kimia yang mungkin terjadi.

Rep: Vidita/ Red: Partner
.
Foto: network /Vidita
.

Unsplash/Markus Spiske
Unsplash/Markus Spiske

Saat ini membeli makanan secara delivery atau take away, sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Riset yang dilakukan Tenggara Strategics yang berjudul "Survei Persepsi & Perilaku Konsumsi Online Food Delivery (OFD) di Indonesia", nilai transaksi GoFood tercatat menjadi yang terbesar di antara layanan pesan antar makanan di Indonesia selama pandemi Covid-19.

Nilai transaksi GoFood pada 2021 mencapai Rp 30,65 triliun dari estimasi nilai transaksi Gross Merchandise Value di sektor OFD sebesar Rp 78,4 triliun. Tren serupa juga terjadi di region Asia Tenggara dimana pada awal 2022, nilai transaksi pesan-antar makanan seperti GrabFood dan GoFood di Asia Tenggara mencapai Rp 223 triliun.

Isu tentang keamanan pembungkus makan dan minuman dalam layanan pesan antar pun kerap menjadi perbincangan. Polemik serupa juga sempat terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa soal wrapping (pembungkus) untuk restoran cepat saji. Bungkus kertas makanan cepat saji yang dilapisi suatu jenis plastik, dikhawatirkan mengandung zat kimia berbahaya.

Associate Director Climate Policy Initiative & NPAP Behavior Change Task Force, Tiza Mafira menjelaskan, di Indonesia yang kerap menjadi perhatian adalah bahaya penggunaan kemasan isi ulang dari bahan plastik. "Kalau kita bicara, sebenarnya semua materi plastik itu ada resikonya baik itu single use, maupun reuse”, ujar Tiza.


Unsplash/AkuLaku
Unsplash/AkuLaku

Menurutnya, begitu pula dengan bahan polietilena tereftalat (PET) yang mengandung mikroplastik yang berpotensi mengalami proses migrasi kimia jika berada dalam kondisi tertentu. Styrofoam, ungkap Tiza, yang juga kerap digunakan sebagai pembungkus makanan juga mengandung bionzine styrine. Bahan ini juga memiliki potensi bahaya apabila digunakan menyimpan makanan yang panas.

Senada, pakar polimer dari ITB, DR Achmad Zainal Abidin, mengatakan semua jenis plastik memiliki potensi migrasi zat kimia yang digunakan dalam proses pembuatannya. Saat ini, ada banyak jenis zat plastik yang boleh digunakan sebagai kemasan makanan minuman termasuk Polikarbonat (PC), Poly Etilene Tereftalat (PET), dan Poly Propilen (PP). "Beragam jenis plastik tersebut digunakan sebagai kemasan pangan karena sifatnya yang inert atau tidak bereaksi dengan lingkungan sekitar," ujar Achmad.

Ia menjelaskan, secara kimia ketahanan panas atau titik melting galon guna ulang berbahan Polikarbonat itu hampir 200-an derajat Celsius dan kemasannya juga keras. "Artinya, resiko untuk BPA-nya bermigrasi itu sangat rendah atau hampir tidak mungkin terjadi,” katanya.

Terkait potensi migrasi zat kimia dari kemasan, dia mengatakan, risiko tersebut dapat terjadi tidak hanya pada galon guna ulang saja tapi juga galon sekali pakai berbahan PET. Menurutnya, kemungkinan migrasi zat kimia dari kemasan tetap mungkin terjadi akibat masih adanya zat yang belum bereaksi saat pembuatan galon, meski jumlahnya tidak banyak.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement