Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahro Al-Fajri

Tragedi Kanjuruhan, Antara Tindak Represif dan Sikap Fanatis

Olahraga | Thursday, 06 Oct 2022, 06:24 WIB

Sebuah tragedi terjadi di lapangan hijau Kanjuruhan. Hingga saat ini dilaporkan korban meninggal telah mencapai 131Jiwa (5/10/21, BBC.com). Duka mendalam dirasakan oleh keluarga dan seluruh pendukung sepak bola, khususnya Aremania.

Di awali dengan tindakan protes suporter kepada pemain Arema yang kalah dari Persebaya. Membuat beberapa suporter lainnya ingin ikut masuk ke lapangan. Melihat massa yang mulai anarkis, pihak kepolisian merasa akan kalah jumlah. Sikap represif pun dilakukan. Tak tanggung-tanggung polisi melemparkan gas air mata kepada para suporter Arema. Tak hanya mereka yang dianggap "perusuh" namun yang diam di tribun juga harus berkecimpung dengan perihnya air mata.

Massa mulai bingung mencari jalan keluar. Karena pintu keluar yang tak kunjung terbuka dan beberapa yang terbuka tak mampu menampung gerombolan massa, akibatnya banyak orang yang terjebak bahkan terinjak-injak. Naas, korban pun berjatuhan bahkan harus merenggang nyawa. Mereka yang hanya diam di tribun, ikut menelan pil pahit tragedi Kanjuruhan.

Penggunaan gas air mata sebenarnya telah dilarang oleh FIFA. Namun dengan dalih melawan jumlah massa, kepolisian tetap menggunakannya. Padahal berakibat fatal. Akhirnya, pihak kepolisian pun meminta maaf. Apalah daya, nasi telah menjadi bubur, seperti yang pepatah katakan.

Jikalau pemikiran aparat dilandasi pemikiran yang benar-benar matang dan mementingkan nyawa masyarakat, maka seharusnya kejadian ini tak semestinya terjadi. Aparat seharusnya bersikap mengayomi dan menjauhkan sikap represif dari masyarakat.

Pertandingan sepakbola memang sering membuahkan rasa amarah para penggemar tim yang kalah. Selain itu beberapa fakta yang menunjukkan ketidak suportifan dalam pertandingan membuat supporter pun semakin membabi buta. Namun, jika mindset olahraga benar dan pertandingan telah dilakukan dengan suportif seharusnya amarah pun bisa dipendam. Apalagi sikap cinta berlebihan pada golongan hanya akan membawa dampak buruk di tengah masyarakat. Fanatisme golongan merupakan pemecah persatuan.

Ada pula opini dimana pertandingan dipaksa dilakukan di malam hari karena mengambil waktu primetime juga menjadi buah bibir di sosial media. Padahal malam hari jelas waktu yang kurang mendukung dimana udara malam juga kurang baik bagi kesehatan. Tapi cuan menjadi pertimbangan utama. Sehingga pertandingan malam diselenggarakan walaupun beresiko untuk banyak kalangan.

Islam memandang bahwa seorang yang diberi kekuasaan hanyalah untuk mengurusi urusan umat. Mereka adalah pengayom dan harus menjaga jiwa masyarakat. Termasuk para polisi, seharusnya memiliki mindset demikian karena jelas nyawa manusia sangatlah berharga. Tindakan seharusnya penuh dengan pertimbangan khususnya keselamatan manusia.

Allah berfirman, “Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.“ (TQS al-Maidah [5]: 32). Rasulullah bersabda, “Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar”. [HR. Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasai (3998) dengan sanad shohih].

Dalam penyelenggaraan pertandingan pun, seharusnya pihak penyelenggara berusaha menjaga keselamatan semua pihak. Pemerintah juga harus memiliki regulasi lengkap untuk menjaga keselamatan masyarakat.

Di lain sisi Islam juga sangat membenci sikap fanatisme golongan atau ashobiyah. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliyah. Dan siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan bagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah bagian dari golonganku-” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai). Perjuangan tertinggi adalah untuk menegakkan Panji Islam, memperjuangkan kalimatullah, bukan untuk suku, ras, tim, dan golongan manapun.

Sikap represif pada penguasa dan fanatis pada masyarakat jelas haram dalam Islam. Maka dalam sistem pendidikan Islam, kedua sikap ini akan berusaha dikikis dari benak masyarakat. Sistem pendidikan Islam mencetak generasi Sholeh/Sholehah yang menggunakan segenap potensinya untuk diinul Islam.

Namun saat ini, masyarakat telah dimindset kan pemikiran sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Sehingga masyarakat lebih berpemikiran bebas dan pertimbangan dalam beraktifitas hanya sekedar kesenangan dan keuntungan. Padahal mindset inilah yang menjadi racun di tengah masyarakat dan membuat hancur bangsa.

Maka, kembali pada sistem pendidikan Islam adalah cara untuk menyelamatkan generasi. Namun, sistem pendidikan Islam hanya mampu diterapkan kepada seluruh masyarakat jika negara berdiri berdasarkan syariat Islam dan pemerintahannya didasarkan Islam. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan Khalifah setelahnya.

WaAllahu'alam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image