Sabtu 08 Oct 2022 05:01 WIB

Bahaya Menjadi Budak Pencitraan

Seorang Muslim telah diperingatkan untuk tetap mengedepankan ikhlas.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Politik pencitraan, ilustrasi
Politik pencitraan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO -- Di era saat ini, di mana media sosial banyak digunakan, tentu sangat besar godaan untuk menggunakannya secara tidak benar dan melanggar ketentuan syariat, sehingga hanya akan membuat seorang Muslim semakin jauh dari keikhlasan.

Dengan medsos, celah untuk memasuki ketidakikhlasan semakin terbuka lebar karena semakin besar potensi untuk mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang penuh kebaikan. Namun, seorang Muslim telah diperingatkan untuk tetap mengedepankan ikhlas daripada menjadi budak pencitraan ataupun budak medsos.

Baca Juga

Ingatlah bahwa Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya (di hadapan) manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS Al-Baqarah ayat 264)

Seorang Muslim juga tidak pantas dan dilarang mengklaim dirinya adalah orang shaleh, orang bersih, orang suci maupun orang baik. Sebab, hanya Allah SWT-lah yang paling mengetahui ketakwaan seseorang. Allah SWT berfirman, "Maka janganlah kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS An-Najm ayat 32)

Untuk itu, di sinilah pentingnya ikhlas. Dengan keikhlasan, seorang mukmin sungguh telah menjadi hamba Allah SWT, bukan hamba hawa nafsunya. Bukan pula hamba dari nafsu orang lain, dan bukan juga hamba dunia.

Keikhlasan yang murni akan membuat seorang Muslim terbebas dari semua perbudakan. Terbebas dari semua perbudakan selain Allah SWT. Misalnya, budak harta, budak uang, budak wanita, budak tahta, budak pencitraan, budak gengsi, budak naluri, dan budak adat istiadat, serta beragam varian perbudakan dalam kehidupan.

Ikhlas memiliki kaitan yang erat dengan keutuhan tauhid dalam diri seseorang. Bahkan, ikhlas adalah buah dari kemurnian tauhid. Dengan demikian, seorang Muslim yang tauhidnya kuat, maka amalan yang menyertai kehidupannya selalu menyimpan keikhlasan.

Tauhid yang murni merupakan keagungan Allah SWT, yang dicapai yaitu dengan senantiasa melaksanakan ibadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Dalam Alquran disebutkan, "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (QS Al-Fatihah ayat 5)

Dengan kalimat itu saja, seorang Muslim berarti tidak kurang dari 17 kali dalam sehari menyampaikan permohonan pertolongan kepada Allah SWT, melalui pelaksanaan sholat wajib lima waktu secara ikhlas.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik." Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam." (QS Al-An'am ayat 161-162)

Sumber

https://fiqh.islamonline.net/%D8%AD%D9%82%D9%8A%D9%82%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%AE%D9%84%D8%A7%D8%B5-%D9%88%D8%B9%D9%84%D8%A7%D9%85%D8%A7%D8%AA%D9%87/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement