Rabu 19 Oct 2022 13:30 WIB

Sri Mulyani: Ancaman Resesi akan Berlanjut Hingga 2024

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi akan terjadi di seluruh negara dunia.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
ilustrasi:resesi - Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta. Pemerintah menyebut kondisi ekonomi global semakin gelap pada tahun depan.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
ilustrasi:resesi - Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta. Pemerintah menyebut kondisi ekonomi global semakin gelap pada tahun depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut kondisi ekonomi global semakin gelap pada tahun depan. Hal ini disebabkan ancaman inflasi dan stagflasi yang menurunkan daya beli, sehingga memicu peningkatan angka pengangguran. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kondisi yang semakin rumit menjadi luar biasa kompleks ini juga akan berlanjut pada 2024. “Ini adalah konteks yang sedang akan terus kita kelola hari ini dan tahun 2023. Bahkan kemarin pembahasan (G20) persoalan kompleks ini akan berlanjut ke 2024,” ujarnya saat webinar seminar nasional, Rabu (19/10/2022).

Baca Juga

Menurut dia, ancaman resesi perekonomian global juga disebabkan kenaikan biaya dana dan gagal bayar di beberapa negara yang sudah dalam posisi exposure utang cukup besar. Kemudian ruang kebijakan fiskal dan moneter di negara sudah hampir habis karena dipakai dalam krisis keuangan 2008 hingga 2009 dan dipakai lagi untuk mengatasi pandemi.

“Seberapa banyak negara yang akan masuk ke dalam krisis default yang kemudian muncul ke dalam bentuk krisis ekonomi,” ucapnya.

Sri Mulyani menyebut, kondisi ini menyebabkan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di seluruh negara dunia. Tak hanya terjadi di negara berkembang saja, negara maju juga ikut mengalami hal yang sama.

“World Economic Outlook Inggris yang tadinya 2022 diperkirakan naik dengan terjadinya krisis APBN di Inggris kemungkinan akan mengalami revisi ke bawah," ucapnya.

Menurut dia, revisi itu juga terjadi akibat guncangan yang menimpa anggaran pendapatan dan belanja negara semua negara imbas gejolak perekonomian global. Adapun kondisi tersebut membuat negara-negara dipaksa untuk mengubah postur anggaran pendapatan dan belanja negara.

“Saat ini juga ada gejolak harga komoditas. Harga komoditas cenderung tinggi, tapi tidak berarti dia stabil tinggi," ucapnya.

Sri Mulyani menuturkan, harga natural gas sejak April masih fluktuatif. Harga natural gas sempat mengalami berada level sembilan, kemudian mengalami penurunan hingga level lima dan kembali naik ke level sembilan. 

Kemudian, kata Sri Mulyani, harga coal selama ini tetap bertahan di atas 400 dolar AS per metrik ton. Namun, saat ini relatif agak menurun sedikit. "Ini juga tertinggi dalam sejarah harga coal di dunia. Apalagi menjelang winter," ucapnya.

Menurut dia, harga brent sempat menurun. Kemudian mengalami kenaikan sejak OPEC memutuskan untuk mengurangi produksinya sebanyak dua juta per hari.

Sri Mulyani melihat, dampak dari keputusan OPEC dianggap akan meningkatkan harga minyak dan memperburuk inflasi. Sementara itu, harga pangan seperti CPO mengalami penurunan yang cukup tajam dan sudah kembali naik lagi.

"Wheat juga turun sejak terjadi arus perdagangan bisa ekspor wheat dari Ukraina, tapi kondisi perang di Ukraina yang semakin pelik juga akan mengancam," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement