Kamis 27 Oct 2022 22:22 WIB

Kemasan Air Minum Plastik PET Berpotensi Ada Etilen Glikol, Apakah Juga akan Dilabelisasi?

Labelisasi kemasan plastik dengan potensi etilen glikol semesetinya juga dilabelisasi

Red: Nashih Nashrullah
Air kemasan galon (ilustrasi). Labelisasi kemasan plastik dengan potensi etilen glikol semesetinya juga dilabelisasi
Foto: Istimewa
Air kemasan galon (ilustrasi). Labelisasi kemasan plastik dengan potensi etilen glikol semesetinya juga dilabelisasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ramainya pembicaraan zat kimia berbahaya etilen glikol (EG) yang diduga menjadi penyebab kematian puluhan anak di Indonesia akibat gagal ginjal akut, membuat publik mengaitkannya dengan rencana BPOM yang berupaya untuk mengeluarkan kebijakan pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat. Sementara kemasan plastik polyethylene terephthalate (PET) tidak dilabeli ‘berpotensi mengandung etilen glikol’. 

Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 menyebutkan tentang risiko bahaya zat kimia dalam kemasan, dan untuk kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah etilen glikol dan dietilen glikol. Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia. 

Baca Juga

Beberapa pengamat kebijakan melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan BPA ini menunjukkan sebuah kebijakan yang janggal dan diskriminatif mengingat risiko bahaya etilen glikol dan dietilen glikol yang telah memakan banyak korban, lebih berbahaya dibanding BPA yang tidak pernah menimbulkan kematian. 

Bahaya etilen glikol dan dietilen glikol yang digunakan pada proses pembuatan kemasan plastik PET ini lebih jelas dan nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat diantara para ahli. 

“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, Kamis (27/10/2022) dalam keterangannya. 

Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran diyakini dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil. 

Namun, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut. Pelabelan itu didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus. 

Sikap berbeda ditunjukan BPOM saat disinggung keberadaan etilen glikol dalam air galon kemasan polyethylene terephthalate (PET) atau galon sekali pakai berbahan PET. BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut, kritik Trubus 

International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia. 

Baca juga: Pengakuan Mengharukan di Balik Islamnya Sang Diva Tere di Usia Dewasa

Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia, sebagaimana saat ini diduga menjadi penyebab ginjal akut pada anak.  

“Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Dr Nugraha E Suyatma, STP, DEA, belum lama ini.    

“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.  

Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya. 

Dia juga mencontohkan kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif. “Di PET ada kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement