Rabu 02 Nov 2022 06:15 WIB

Semakin Banyak Negara Dorong Kecaman Perlakuan China pada Uighur

Sebanyak 50 negara mendesak China untuk sepenuhnya membebaskan warga Uighur

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Sebanyak 50 negara pada Senin (31/10/2022) mendesak China untuk sepenuhnya membebaskan warga Uighur dan kelompok etnis lainnya yang ditahan di Xinjiang.
Foto: AP Photo/Mark Schiefelbein
Sebanyak 50 negara pada Senin (31/10/2022) mendesak China untuk sepenuhnya membebaskan warga Uighur dan kelompok etnis lainnya yang ditahan di Xinjiang.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebanyak 50 negara pada Senin (31/10/2022) mendesak China untuk sepenuhnya membebaskan warga Uighur dan kelompok etnis lainnya yang ditahan di Xinjiang. Mereka juga meminta China untuk mengimplementasikan semua rekomendasi yang tertuang dalam laporan PBB.

Duta Besar Kanada untuk PBB, Bob Rae membaca pernyataan bersama itu pada pertemuan komite hak asasi manusia. Rae mengungkapkan keprihatinan besar atas situasi hak asasi manusia di China dan kegagalan Beijing untuk membahas temuan laporan tentang pelanggaran yang sedang berlangsung terhadap Uighur dan kelompok Muslim lainnya.  

"Laporan PBB itu sebagai penilaian independen dan otoritatif yang sangat bergantung pada catatan China sendiri dan memberikan kontribusi penting terhadap bukti pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan sistematis di China," ujar pernyataan bersama 50 negara.

Kelompok hak asasi manusia menuduh China menahan lebih dari satu juta kelompok minoritas ke kamp-kamp penahanan. Dalam kamp tersebut, para tahanan disiksa, mengalami pelecehan seksual, serta dipaksa untuk meninggalkan bahasa dan agama mereka.  Kamp-kamp itu hanyalah salah satu bagian dari kampanye kejam melawan ekstremisme di Xinjiang. Kampanye lainnya juga mencakup kebijakan pengendalian kelahiran dan pembatasan menyeluruh terhadap pergerakan orang.

Penilaian dari kantor hak asasi manusia PBB yang berbasis di Jenewa dirilis sebelum masa jabatan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet berakhir pada 31 Agustus. Laporan ini sebagian besar menguatkan laporan sebelumnya oleh para peneliti, kelompok advokasi dan media berita.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa China telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di bawah kebijakan anti-terorisme dan anti-ekstremisme. Laporan itu menyerukan “perhatian mendesak” dari PBB, komunitas dunia dan China untuk mengatasinya.

50 negara itu mendesak China untuk mengklarifikasi nasib dan keberadaan anggota keluarga yang hilang, serta mengatur kontak dan reuni yang aman.

Menanggapi pernyataan itu, Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur mengatakan, semakin banyak negara anggota PBB yang mendorong kecaman terhadap perlakuan China kepada etnis Uighur di Xinjiang. Sementara Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly juga mengungkapkan hal serupa.

"Pernyataan itu didukung oleh 50 negara di 6 benua. Ini menunjukkan semakin luasnya perhatian internasional (terhadap tindakan sewenang-wenang, China kepada Uighur)," ujar Cleverly.

50 negara yang menandatangani pernyataan tersebut antara lain Albania, Andorra, Australia, Austria, Belgia, Belize, Bulgaria, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, Denmark, Estonia, Eswatini, Finlandia, Prancis, Jerman, Guatemala, Islandia, Irlandia,  Israel, Italia, Jepang, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, dan Kepulauan Marshall. Negara lainnya yang ikut menandatangani pernyataan tersebut adalah Monako, Montenegro, Nauru, Belanda, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Palau, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Slovakia, Slovenia,  Somalia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turkiye, Ukraina, Inggris, dan Amerika Serikat.

Misi China di PBB mengirim surat kepada semua negara anggota PBB yang menyatakan penentangan tegas terhadap pernyataan bersama tersebut. Beijing sangat merekomendasikan agar mereka memboikot tindakan anti-China itu.

“Ini adalah peristiwa bermotif politik. Para sponsor menggunakan masalah hak asasi manusia sebagai alat politik untuk ikut campur dalam urusan internal China seperti Xinjiang, untuk menciptakan perpecahan dan turbulensi dan mengganggu pembangunan China," ujar isi surat itu, yang diperoleh The Associated Press.  

Misi China di PBB menyebut pernyataan itu sebagai propaganda disinformasi. Surat itu menuduh para sponsor melanggar tujuan dan prinsip Piagam PBB serta norma-norma hubungan internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement