Jumat 04 Nov 2022 20:47 WIB

Berapa Jumlah Pasal dalam Kode Etik Jurnalistik?

Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral untuk mengatur tindak-tanduk seorang wartawan.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

“Pelatihan Kehumasan dan Jurnalistik” di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). (FOTO-FOTO : Diskominfo Muba)

KAKI BUKIT – Awal November 2022 berkesempatan menjadi nara sumber pada “Pelatihan Kehumasan dan Jurnalistik” yang diselenggarakan sebuah organisasi perangkat daerah (OPD) atau Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Pelatihan berlangsung di Sekayu yang berjarak sekitar 130 km dari Palembang.

Pada sesi dialog selain mendengar pertanyaan dari peserta saya balik bertanya ke peserta, khususnya pada peserta dari komunitas wartawan, karena peserta pelatihan ini beragam, ada dari Pranata Humas OPD, ada dari perangkat desa.

“Kepada teman-teman dari wartawan atau jurnalis, saya mau tanya, berapa jumlah pasal dalam Kode Etik Jurnalistik? Yang bisa jawab tunjuk tangan, nanti ada suvenir bagi jawaban yang benar?”

Sampai diberi kesempatan tiga kali dengan mengulangi pertanyaan tersebut, tidak ada satu wartawan yang tunjuk tangan untuk menjawab. Semua masih diam.

Karena tak kunjung ada peserta yang menjawab. Saya pun mengingatkan, bagaimana bisa mengaku wartawan jika jumlah pasal Kode Etik Jurnalistik atau yang kerap ditulis KEJ saja tidak tahu. KEJ yang berlaku saat ini telah disahkan berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik. Kemudian disahkan berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.

Dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa KEJ berjumlah 11 Pasal berikut penafsirannya.

Kok bisa-bisanya mengaku sebagai wartawan tapi tidak tahu berapa jumlah Pasal dalam KEJ? Ketidatahuan itu dari mereka yang mengaku sebagai wartawan bisa saja karena belum pernah atau sama sekali tahu dan membaca KEJ. Tentu tidak bisa membela diri dengan berkata “Lupa.” Yang ditanya adalah jumlah pasal KEJ ada berapa, jawabannya bisa saja, dua, lima, delapan atau 20. Jika ditanya apa isi Pasal 1 KEJ tolong sebutkan? Dapat diterima jika jawabannya “Lupa.”

Masih pantaskah mengaku wartawan jika tidak tahu berapa jumlah pasal dari KEJ Indonesia? Apakah salah jika pada sebuah wawancara, nara sumber menyampaikan, “Anda silakan wawancara dengan saya tapi sebelumnya saya mau bertanya, jika jawaban ada benar kita lanjut wawancara. Jika jawabannya salah mohon maaf kita wawancara lain kesempatan?”

Salahkah nara sumber tersebut jika mereka bertanya atau menguji pemahaman dan pengetahuan wartawan tentang jumlah pasal dalam KEJ? Bagi saya tidak ada yang salah jika nara sumber tersebut menolak untuk wawancara jika si wartawan tidak bisa menjawab atau tahu jumlah Pasal KEJ. Tak pantas jika kemudian wartawan itu berkoar-koar di media sosial (medsos) dengan menuding nara sumber itu menghambat kemerdekaan pers atau melanggar UU Pers No.40 Tahun 1999 dan dengan atribut lainnya.

Selain tentang KEJ, bisa saja nara sumber bertanya apakah wartawan yang datang kepadanya sudah memiliki sertifikasi sebagai wartawan yang berkompeten dengan telah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) atau Uji Kompetensi Jurnalis (UJK).

Nara sumber itu menyampaikan, “Sebelum wawancara boleh saya lihat kartu UKW Anda. Jika sudah mengikuti UKW silakan wawancara, tetapi jika belum UKW maka mohon maaf kita wawancara lain kesempatan?”

Bagi saya ini juga bukan pertanyaan yang salah dan bukan berarti nara sumber tersebut menghambat kebebasan atau kemerdekaan pers karena tidak bersedia wawancara atau menyampaikan informasi kepada wartawan yang tidak berkompeten, karena dia hanya mau diwawancarai atau berbagi informasi kepada wartawan yang sudah kompeten atau telah mengikuti UKW.

Sertifikasi UKW

Hal seperti ini pernah terjadi di Kabupaten Sampang pada Juni 2022 dan rekaman videonya sempat viral. Dalam video tersebut Kapolres Sampang, AKBP Arman pada 14 Juni 2022 di Mapolres Sampang, Jawa Timur,


Peserta “Pelatihan Kehumasan dan Jurnalistik” di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).

Saat audiensi dengan wartawan Kapolres Sampang Arman menyatakan hanya akan melayani insan pers yang tersertifikasi dan perusahaan pers yang sudah terverifikasi di Dewan Pers. Kapolres mengintruksikan kepada jajarannya untuk menolak wartawan yang tidak miliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Kapolres juga menginstruksi kepada seluruh jajarannya di Polres Sampang untuk bertanya kepada wartawan, sudah belajar Kode Etik Jurnalistik belum, sudah punya sertifikat UKW belum?

Pernyataan Kapolres ini sempat dipersoalkan oleh beberapa jurnalis. Walau dipersoalkan, sikap Kapolres Sampang Arman yang menyatakan hanya melayani wartawan tersertifikasi atau telah mengikuti UKW justru mendapat banyak dukungan.

Dukungan Kepada Kapolres Sampang diantaranya datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Sampang, PWI Jawa Timur (Jatim) dan Dewan Pers. Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta juga mendukung langsung bawahannya tersebut yang mengintruksikan hanya melayani insan pers yang Medianya tersertifikasi Dewan Pers dan Wartawan yang lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

Dewan Pers pun memberi perhatian serius atas sikap dan pernyataan Kapolres Sampang. Pada 17 Juni 2022 di Jakarta anggota Dewan Pers langsung membahasnya dalam sebuah diskusi yang dihadiri M Agung Dharmajaya (wakil ketua), Asmono Wikan (anggota dan ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi), Ninik Rahayu (anggota dan ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi), serta Paulus Tri Agung Kristanto (anggota dan ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi).

Dewan Pers langsung megeluarkan siaran pers “Dewan Pers Apresiasi Pejabat Publik yang Mendukung Profesionalisme Pers.” Diantaranya : 1. Dewan Pers mendukung penuh setiap upaya para pejabat publik termasuk TNI/Polri dalam mendorong wartawan dan perusahaan pers semakin profesional.

2. Profesionalisme wartawan dan perusahaan pers dalam hemat Dewan Pers ditandai antara lain oleh sertifikasi bagi wartawan dan verifikasi perusahaan pers yang diselenggarakan oleh Dewan Pers.

3. Pernyataan Kapolres Sampang, AKBP Arman SIK MSi, di hadapan jajaran Polres dan media di Sampang beberapa waktu lalu, yang meminta agar wartawan harus tersertifikasi dan perusahaan pers sudah lulus verifikasi oleh Dewan Pers, patut diapresiasi. Dewan Pers berharap semakin banyak pejabat publik dan penegak hukum bersikap senada dengan Kapolres Sampang, guna mendorong kian mekarnya profesionalisme wartawan dan perusahaan pers di Indonesia.

4. Dewan Pers berharap agar wartawan dan perusahaan pers yang sudah lulus mengikuti sertifikasi dan verifikasi senantiasa bekerja berlandaskan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Perlu ditegaskan, bahwa Dewan Pers tidak mengakui kegiatan sertifikasi wartawan yang diselenggarakan oleh organisasi lain, di luar yang dilaksanakan oleh Dewan Pers bersama para lembaga uji yang telah ditunjuk.

“Pelatihan Kehumasan dan Jurnalistik” di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).

Kode Etik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam etika ada tiga pengertian, selain ilmu tentang apa yang baik dan buruk; juga kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; serta nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh masyarakat kita.

Menurut pakar komunikasi Alex Sobur dalam “Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani” (2001) menyebutkan, “Dalam menjalankan profesi apapun, etika juga merupakan hal yang penting. Karenanya, pada beberapa profesi, telah dikenakan kode etik profesi yang secara otomatis menjadi patokan dasar bagi kaum profesional itu untuk menjalankan profesinya. Jurnalis sangat terikat dengan pelaksanaan etika profesinya karena etika berfungi menjaga para pelaku profesi - dalam hal ini jurnalis - tetap berkomitmen untuk menjaga pranata sosial dalam lingkungannya.

Mengutip Eni Setiati dalam “Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik,” (2005) bahwa etika menjadi syarat mutlak bagi insan pers atau jurnalis dalam menjalankan tugas dan menyajikan berita bagi masyarakat. Kode etik merupakan rambu-rambu landasan moral, kaidah penuntun sekaligus pemberi arah bagi wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.


Peserta “Pelatihan Kehumasan dan Jurnalistik” di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).

Menurut Tom E Rolnicki, C. Dow Tate dan Sherri A. Taylor dalam "Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastic Journalism)" (2015), jurnalisme membutuhkan kode etik disebabkan karena jurnalisme memberi banyak manfaat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting dalam masyarakat demokratis.

Antara lain : (1) jurnalisme memberi informasi publik tentang fakta dan kejadian yang penting bagi masyarakat; (2) jurnalisme menjamin kebebasan aliran informasi yang penting bagi kelahiran dan kelangsungan demokrasi; (3) jurnalisme menyediakan forum untuk pandangan yang beragam; (4) jurnalisme berfungsi sebagai pengawas pemerintah, dan institusi lain untuk memberi tahu publik jika ada tanda-tanda tindakan yang salah; (5) jurnalisme mendukung perubahan demi kepentingan publik; dan (6) jurnalisme mencari kebenaran dengan komitmen yang tegas.

Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral untuk mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. KEJ juga aturan moral yang didelegasikan, dan kekuatannya bergantung pada si pengemban profesi, Kode etik bagi pers sangat penting.

Sedangkan etika jurnalistik menurut Fitri Meliya Sari dalam “Analisis Penerapan Kode Etik Jurnalistik pada Harian Serambi Indonesia,” (2014) adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya. Etika jurnalistik tidak hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.

KEJ lahir berdasarkan perintah UU No. 40/1999 tentang Pers. Dalam UU Pers menyebutkan KEJ adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Kemudian dalam Pasal 7 ayat 2 menyebutkan, “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.” Itu berarti wartawan atau jurnalis dituntut untuk menerapkan etika profesi dalam menjalankan profesinya. “Bekerja tanpa kode etik menunjukkan seseorang tidak profesioanal,” tulis Idri Shaffat dalam “Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Penyimpangan Pers,” (2008).

Berarti wartawan atau jurnalis harus mengetahui, mengerti dan mematuhi KEJ yang setali tiga uang dengan sertifikasi UKW. Wartawan harus memiliki keduanya agar bisa berjalan di rel profesionalisme dunia pers Indonesia. Untuk menjadi wartawan atau jurnalis profesional, seorang wartawan tidak boleh bersikap “KEJ EGP” atau “Kode Etik Jurnalistik Emang Gue Pikirin.”

Ketidatahuan dan ketidakmengertian wartawan pada KEJ tentu menjadi keprihatinan bagi dunia pers dan masyarakat. Kenapa sikap EGP atau masa bodoh pada KEJ ada di kalangan wartawan? Bukankah KEJ adalah panduan kerja jurnalistik dan perintah UU Pers.

Ketua Komite Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan pernah mengingatkan para wartawan penganut aliran KEJ EGP harus hati-hati. Ada rambu KEJ yang juga menjadi hukum positif di Indonesia dan bila dilanggar dapat ke ranah pidana.

Menurut mantan Ketua PWI Jaya tersebut, sesuai namanya Kode Etik Jurnalistik atau KEJ memang kumpulan pasal terkait etik yang harus dipatuhi wartawan. Perintahnya jelas berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. KEJ yang berisi 11 pasal ditetapkan Dewan Pers.

Kamsul Hasan memaparkan, ada sejumlah kasus yang diduga melanggar KEJ ditangani kepolisian dengan ancaman hukum pidana. Setidaknya ada tiga kasus yang masih proses baik di kepolisian maupun pengadilan.

“Kasus tersebut berawal dari dugaan pelanggaran Pasal 1 dan atau Pasal 3 KEJ, tentang keberimbangan, uji informasi dan asas praduga tak bersalah. Kasus di Sumatera Barat sudah dijatuhkan vonis pada tingkat pertama. Namun dilakukan perlawanan hukum, banding,” katanya.

Kemudian, Polisi di Aceh Tamiang sudah menetapkan wartawan sebagai tersangka Pasal 27 ayat (3) UU ITE, muatan pencemaran nama baik. Pasal ini ancamannya tidak cukup untuk melakukan penahanan.

Namun lain halnya yang sempat menjadi pembicaraan ahli pers adalah penetapan Polda Sulawesi Selatan terhadap wartawan dan langsung menahannya dengan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 tahun 1946. (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Melihat kasus tersebut, Kamsul Hasan mengingatkan agar wartawan patuh pada KEJ agar tak tersentuh hukum.

Bagi wartawan atau jurnalis, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) memegang peranan yang sangat penting dalam dunia pers yang menjadi pedoman nilai-nilai profesi kewartawanan, sehingga kode etik jurnalistik wajib dipahami dan dilaksanakan oleh wartawan. Wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik yang disepakati oleh Dewan Pers. Mematuhi kode etik jurnalistik yang berisi 11 Pasal itu berarti wartawan paham dalam mencari, meliput dan menyajikan berita.

KEJ perlu dipahami, dilaksanakan oleh wartawan sebagai pedoman dalam menuliskan berita, agar berita yang disajikan akurat, berimbang, sesuai fakta di lapangan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan orang lain.

Jika ada yang mengaku sebagai wartawan atau jurnalis, walau memiliki banyak kartu pers atau sudah punya sertifikat UKW tapi tidak tahu berapa jumlah pasal dalam KEJ berati wartawan atau jurnalis tersebut tidak pernah melihat naskah KEJ otomatis tidak membaca. Kalau tidak tahu, tidak membacanya, bagaimana bisa mengerti dan patuh pada KEJ. Harus malu mengaku sebagai wartawan atau jurnalis.

Dalam konteks pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis atau wartawan maka Dewan Pers yang memberikan penilaian akhir. Namun, yang memberikan sanksi kepada jurnalis bukanlah Dewan Pers, melainkan dilakukan oleh organisasi wartawan maupun perusahaan media tempat wartawan tersebut bekerja.

Berikut pesan Bagir Manan (Ketua Dewan Pers tahun 2013 – 2016) pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2015 menegaskan, “Pers (jurnalis) sebaiknya tidak hanya memberi perhatian pada persoalan hukum belaka, melainkan juga mengarahkan diri dengan memberi perhatian besar pada persoalan terhadap ketaatan pada kode etik, peningkatan profesionalisme serta tradisi demokrasi.” Itu berarti bahwa persoalan menjaga etika profesi di kalangan jurnalis atau wartawan masih menjadi hal yang sangat penting. (maspril aries)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement