Rabu 23 Nov 2022 20:42 WIB

Ketika Islamofobia Dianggap Normal dan Dampaknya yang Semakin Global

Islamofobia masih menjadi hal yang mengkhawatirkan di berbagai negara

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia (ilustrasi). Islamofobia masih menjadi hal yang mengkhawatirkan di berbagai negara
Foto: Christophe Petit/EPA
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia (ilustrasi). Islamofobia masih menjadi hal yang mengkhawatirkan di berbagai negara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Andrew Leak, pria yang baru-baru ini mengebom pusat pemrosesan migran di Inggris, secara terbuka menyatakan bahwa dia ingin menyakiti umat Islam. Dalam unggahan terakhirnya di Twitter, sebelum penyerangan, dia menulis "Kami akan melenyapkan mereka anak-anak Muslim."

Sementara yang lain menduga bahwa pelaku memiliki masalah kesehatan mental. Hal yang sama juga disebut polisi yang menyelidiki insiden tersebut, mengakui bahwa pelaku dimotivasi ideologi teroris sayap kanan yang ekstrim.

Baca Juga

“Kami tampaknya telah mencapai titik kritis di Eropa. Normalisasi Islamofobia dalam wacana politik dan media telah membantu menciptakan iklim intoleransi yang berbahaya.”

Sentimen anti-Muslim dan kejahatan rasial telah melonjak di seluruh benua sehingga politisi dari 46 negara terpaksa menyusun resolusi di Majelis Parlemen Dewan Eropa bulan lalu.

Resolusi tersebut menuduh pihak berwenang di negara-negara Eropa menormalkan diskriminasi terhadap Muslim dan menyerukan tindakan untuk mengatasi Islamofobia sebagai bentuk rasisme.

“Resolusi ini harus menjadi peringatan. Hukum, kebijakan, dan praktik rasis tidak memiliki tempat di Eropa,” kata Direktur Regional Amnesty Internasional untuk Eropa, Nils Muižnieks dilansir dari New Arab, Rabu (22/11/20022).

Peringatan suram ini datang pada saat bahasa yang menghasut tentang Muslim, Islam, dan migrasi telah meningkatkan kejahatan rasial terhadap Muslim dan mereka yang dianggap beriman.  

Tindakan kekerasan ini seringkali tidak didokumentasikan secara resmi atau diselidiki dengan baik. Lebih buruk lagi, banyak negara mengawasi Muslim dengan berbagai tindakan kontra-terorisme yang beroperasi di luar sistem peradilan pidana dan perlindungan yang memadai.

Xenofobia dan Islamofobia di Eropa terus berkembang dan menjadi arus utama melalui pemilihan politisi seperti Georgia Meloni, pemimpin koalisi partai sayap kanan di Italia dan Jimmie Åkesson, pemimpin Demokrat Swedia yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan nasional.

Menurut laporan tahunan Islamofobia Eropa terbaru menyebutkan, Islamofobia adalah masalah mendesak di seluruh benua. Laporan tersebut memeriksa diskriminasi anti-Muslim di 27 negara Eropa dan mencatat bahwa Islamofobia telah dinormalisasi dan dilembagakan dalam demokrasi liberal.

Hal ini terlihat dari maraknya insiden Islamofobia dan diskriminasi sistemik terhadap umat Islam di berbagai bidang kehidupan, mulai dari pelarangan pakaian simbolis agama, pekerjaan, perawatan kesehatan, pendidikan dan sistem peradilan.  

Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat 

Di Prancis, insiden anti-Muslim paling sering dikaitkan dengan perusakan tempat ibadah Muslim, pusat budaya, kuburan, dan serangan fisik terhadap orang.

Sentimen anti-Muslim secara implisit didorong Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang mengadopsi Islamofobia sebagai bagian dari kebijakan dan strategi pemilihan pemerintahnya.  

Baik Jerman dan Spanyol telah mengalami lonjakan kejahatan rasial Islamofobia selama lima tahun terakhir dan kasus serupa diidentifikasi di Swedia tahun ini, ketika partai sayap kanan Stram Kurs mengancam akan membakar Alquran di depan umum, dan menyebabkan bentrokan kekerasan antara pendukung dan pengunjuk rasa.

Di Belgia, wanita telah menerima sebagian besar serangan Islamofobia dan rasis, sementara di Finlandia, sebagian besar kejahatan rasial disebabkan oleh asal-usul etnis dan agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement