Kamis 24 Nov 2022 15:23 WIB

IDAI: Efek Samping Vaksin Lebih Ringan Dibandingkan Terpapar 

Efek samping vaksinasi anak berupa bengkak di area suntik dan demam.

Red: Friska Yolandha
 Petugas Puskesmas melakukan vaksinasi polio dengan menggunakan vaksin bivalen oral polio (BOPV) untuk anak di Puskesmas Banda Aceh, Senin, 21 November 2022. Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa Indonesia berisiko tinggi penyebaran virus polio akibat cakupan vaksinasi polio yang rendah, setelah kasus poliomielitis terdeteksi untuk pertama kalinya dalam delapan tahun.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Petugas Puskesmas melakukan vaksinasi polio dengan menggunakan vaksin bivalen oral polio (BOPV) untuk anak di Puskesmas Banda Aceh, Senin, 21 November 2022. Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa Indonesia berisiko tinggi penyebaran virus polio akibat cakupan vaksinasi polio yang rendah, setelah kasus poliomielitis terdeteksi untuk pertama kalinya dalam delapan tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengimbau masyarakat untuk tidak ragu memberikan vaksin polio kepada anak. Ia mengatakan, risiko efek samping vaksin jauh lebih ringan dibandingkan terpapar polio.

"Efek samping vaksin jauh lebih ringan dibandingkan polio," kata Piprim kepada Antara di Jakarta, Kamis (24/11/2022).

Baca Juga

Efek samping yang bisa terjadi setelah anak mendapatkan vaksinasi biasanya berupa demam atau bengkak. Akan tetapi, risiko itu masih jauh lebih baik ketimbang anak menjadi lumpuh dan harus ditopang dengan tongkat atau beraktivitas dengan kursi roda seumur hidupnya.

IDAI menyatakan prihatin atas ditemukannya satu kasus polio di Kabupaten Pidie, Aceh, yang menimpa anak usia tujuh tahun dengan kelumpuhan di kaki kiri. Temuan kasus tersebut menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus polio karena Indonesia sudah lama bebas dari polio dan mendapatkan sertifikat resmi dari WHO pada 2014.

Piprim mengatakan wabah bisa berulang bila cakupan imunisasi rendah. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan cakupan imunisasi di semua daerah.

Menurunnya cakupan imunisasi rutin dipengaruhi juga oleh pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat enggan berkerumun. "Di Indonesia cakupan imunisasi awal biasanya 90 persen lebih menurun jadi 80 persen, imunisasi untuk anak yang lebih besar penurunannya lebih rendah lagi," papar dia.

Di sisi lain, Piprim menyebutkan adanya misinformasi yang menyebar di media sosial yang membuat masyarakat meragukan vaksinasi. "Orang jadi ragu dengan vaksin, tapi tidak khawatir dengan penyakitnya," katanya.

Dia menegaskan imunisasi adalah hak asasi anak yang harus diberikan orangtua dan telah disediakan secara gratis oleh pemerintah. Dia mengimbau orangtua untuk memberikan imunisasi kepada anak di fasilitas-fasilitas kesehatan terdekat agar anak terlindung dari berbagai penyakit, termasuk polio.

Bagi masyarakat yang ragu karena mempertimbangkan kehalalan vaksin, ia mengatakan Fatwa MUI menyebutkan program imunisasi hukumnya wajib. Selain itu, ada konsep darurat di mana bila vaksin tidak diberikan, anak yang terkena penyakit tersebut bisa mengalami kecacatan atau meninggal.

"Jadi, walaupun katakanlah vaksin itu tidak atau belum ada sertifikat halal tapi ketika penyakit itu menyebabkan kematian atau kecacatan, imunisasi itu wajib diberikan," jelas dia.

Selain vaksinasi, upaya mencegah polio adalah dengan pola hidup bersih dan sehat oleh masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement