Jumat 25 Nov 2022 13:27 WIB

Anwar Ibrahim, Islam, dan Jalan Tengah

Islam di Asia Tenggara dinilai Anwar Ibrahim menawarkan jalan tengah.

Red: Fitriyan Zamzami
 Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menandatangani dokumen setelah mengambil sumpah dalam upacara pelantikan di Istana Nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (24/11/2022).
Foto: Mohd Rasfan/Pool Photo via AP
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menandatangani dokumen setelah mengambil sumpah dalam upacara pelantikan di Istana Nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (24/11/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, -- Di puncak karir politiknya pada masa lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang baru terpilih tergolong pemikir Islam yang rajin menulis. Pemikiran-pemikirannya terkait erat dengan kebangkitan kaum intelektualitas Islam di Tanah Air pada 1990-an. Berikut salah satu paparannya yang ia kirimkan untuk Harian Republika edisi 27 September 1996.

Muslim Melayu dan Prinsip Jalan Tengah

OLEH ANWAR IBRAHIM

Dalam perjalanannya dari Cina ke Levant pada tahun 1292, Marco Polo sempat tinggal selama lima bulan di Perlak, timur laut Sumatera. Di sana ia mengamati bagaimana ''orang-orang Perlak yang sebelumnya penyembah berhala, setelah melakukan kontak dengan pedagang Sarasin yang sering berlabuh di sini, berganti keyakinan ke agama Muhammad. Hal ini hanya terjadi pada masyarakat kota, sementara penduduk gunung masih hidup seperti binatang.''

Catatan awal tentang komunitas Islam di kepulauan Malaya ini memberi nuansa khas pada wilayah tersebut. Islam menyebar ke Asia Tenggara lebih banyak dibawa oleh pedagang melalui laut ketimbang melalui pasukan dengan pedang di tangan.

Penduduk menjadi Islam karena pilihannya sendiri, tanpa paksaan, dan diawali oleh kelompok yang berpengaruh di kota dan kaum pedagang. Islamisasi secara damai dan perlahan ini membentuk ciri Muslim Asia Tenggara yang kosmopolit, berwawasan luas, toleran, dan dapat menerima perbedaan budaya. Tentu saja, pandangan mereka juga dipengaruhi oleh keberadaan orang non-muslim yang membalas sikap toleran orang Islam. Tidak seperti non-muslim di barat, persepsi mereka atas Islam tidak dipengaruhi oleh trauma Perang Salib.

Hampir tanpa kecuali, bangsa Muslim pernah dijajah. Banyak yang belum pulih dari trauma tersebut. Ini tercermin dari sikap ekstrim terhadap barat. Ada sejumlah orang yang menyalahkan Barat atas kegagalan yang mereka alami.

Pada sisi ekstrim lain adalah kelompok elit yang terkagum-kagum dan silau atas kebudayaan Barat. Ketika Muslim Asia Tenggara tidak semuanya tahan, mereka tidak membiarkan ketegangan-ketegangan internal tersebut melumpuhkan kesatuan bangsa atau meracuni hubungan mereka dengan dunia luar.

Alih-alih menghibur diri dari kepahitan penjajahan, mereka memilih jalan kebaikan yang secara esensial mencerminkan karakter Melayu. Pahlawan Filipina Jose Rizal telah memberi gambaran karakter bangsa Asia Tenggara. ''Bangsa Filipina'' tulisnya, ''hanya mengingat kebaikan yang didapat; mudah melupakan kebencian, dan jika mereka hanya memiliki senyum dan air mata untuk orang yang telah memperlakukan mereka dengan kasar kasar pada saat kematian orang itu, maka apa yang mereka punyai untuk orang yang telah berlaku baik ketika ia mendapat musibah?''

Prinsip awsatuha -- jalan tengah -- yang berkaitan dengan ajaran Kong Hu Cu, Chun Yung, memperkuat unsur-unsur moderat melayu dan membentuk pemahaman dan praktek Islam mereka. Moderasi ini mengarah pada pendekatan pragmatis dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Benar bahwa Muslim Asia Tenggara bukannya tidak bermasalah. Tetapi yang membedakan mereka dari muslim di belahan dunia lain adalah kepekaannya akan prioritas.

Persoalan penerapan hukum Islam atau pembentukan negara Islam adalah masalah pinggiran. Muslim Asia Tenggara lebih suka berkonsentrasi pada tugas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menghapuskan kemiskinan ketimbang memotong tangan pencuri. Mereka lebih suka meningkatkan kesejahteraan wanita dan anak-anak di antara mereka ketimbang menghabiskan waktu mendefinisikan negara Islam yang ideal.

Mereka tidak percaya bahwa memikirkan pertumbuhan ekonomi, menguasai revolusi informasi dan memperjuangkan hak wanita akan membuat mereka menjadi kurang Islami. Tidak juga bahwa hal itu akan meningkatkan komitmen agama dan akhirnya mencemaskan umat non-Muslim.

Guncangan-guncangan politik menyakitkan yang dialami negara-negara di bawah pemerintahan kolonial tidak berakhir dengan kemerdekaan. Ada harapan besar untuk hadirnya sebuah permulaan yang baru, namun setelah kegagalan terjadi berulang kali sinisme menggantikan harapan.

Kemerdekaan menjanjikan banyak, namun hanya memberi sedikit. Kesalahannya adalah mengupayakan perubahan total dan mendirikan utopia. Pandangan-pandangan alternatif dan menyimpang mengenai pembentukan bangsa tergilas atau hilang begitu saja. Pada beberapa kasus rejim-rejim baru melampaui penguasa-penguasa kolonial mereka dalam hal represi politik.

Tapi para pemimpin Malaysia terdahulu tidak memiliki keinginan untuk menyaingi negara-negara Dunia Ketiga lainnya mengukuhkan ''revolusi permanen''. Indonesia selama beberapa waktu pernah menerapkan ideologi radikal, namun pada akhirnya pragmatismelah yang menang.

Wilayah ini sering disebut sebagai contoh di mana kaum Muslim berhasil menyesuaikan diri dengan modernitas. Sejarahnya yang tidak terlalu kompleks bisa menjadi penjelasannya.

Selama berabad-abad Islam di Asia Tenggara menjadi Islam pinggiran, meskipun jumlah pengikutnya melebihi penganut Islam di Arab, Turki, dan Persia. Tapi tidak adanya sejarah yang besar ini juga merupakan keuntungan: tidak ada obsesi-obsesi tertentu yang akan membawa kerinduan romantis.

Arab, Turki dan Persia terbebani oleh kejayaan sejarah mereka. Sebaliknya, bangsa Malaysia tidak terlalu dibayangi oleh hantu masa silam, lebih mencurahkan perhatian pada realitas masa kini, dan lebih sadar terhadap berbagai nuansa dan sisi-sisi gelap yang dimilikinya.

Kehadiran agama-agama lain juga merupakan faktor yang menentukan. Ketika sekelompok Muslim fanatik berusaha merobohkan patung-patung di candi-candi Hindu di Malaysia 20 tahun lalu, cercaan dari kalangan Muslim hanya mengandung satu arti. Kekuatan hukum digunakan untuk menghadapi mereka.

Ekstremisme benar-benar ditolak. Tapi toleransi juga tidak hanya bisa dipaksakan datang dari satu pihak. Harus ada timbal balik. Sebuah komunitas yang plural dan multi-agama terus-menerus hidup dalam ancaman petaka. Bibit-bibit militansi ada di mana-mana, dan setiap komunitas harus betul-betul yakin bahwa mereka tidak akan mendorong pertumbuhannya dengan membiarkan ketidakpuasan dan alienasi terjadi.

Dengan demikian partisipasi dan keadilan sosial adalah faktor fundamental yang diterapkan di Asia Tenggara dalam periode pembentukan negara-bangsa. Kekerasan harus ditolak demi kelancaran proses demokrasi politik. Asia Tenggara tidak bakal melupakan sejak zaman dahulu kalam wilayah mereka adalah panggung tempat berlalu-lalangnya peradaban-peradaban besar dalam sejarah. Tapi jujur mereka mengakui bahwa wilayahnya bukan sebuah melting pot.

Ingatan kolektif setiap komunitas masih tetap kuat dan masing-masing berpegang erat pada identitas yang mereka banggakan. Namun Asia Tenggara dewasa ini bergerak menuju situasi yang lebih kohesif, dan keterikatan komunitas tidak bisa dijaga tanpa adanya nilai bersama.

Motto bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, adalah definisi kultural kawasan tersebut. Tantangan yang dihadapi baik oleh kaum muslim atau pun umat beragama lainnya adalah mengartikulasikan visi moral mereka secara efektif dan menggiatkan pencarian landasan etika bersama.

Kalangan beragama di Asia Tenggara tengah melangkah lebih jauh ketimbang sekadar toleransi. Bersama-sama mereka akan menghadapi berbagai realitas di antara mereka: korupsi, otoritarianisme, feodalisme modern, dan ketidakadilan yang kadang-kadang tidak kasat mata. Hanya kekuatan moral yang dapat memberikan dorongan keyakinan pada mereka untuk memerangi semua itu. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement