Senin 28 Nov 2022 05:56 WIB

Program Hilirasi Indonesia Dijegal WTO

Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa.

Red: Joko Sadewo
Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) yang berada di Kawasan Industri Virtue Dragon Nickel Industrial (VDNI) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon/foc
Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) yang berada di Kawasan Industri Virtue Dragon Nickel Industrial (VDNI) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini nikel merupakan salah satu sumber daya mineral yang menjadi komoditas strategis di pasar global. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan, permintaan nikel di pasar global akan terus meningkat seiring dengan penguatan tren energi baru terbarukan (EBT).

Dalam laporannya di Southeast Asia Energy Outlook 2022, IEA memprediksi permintaan nikel untuk keperluan teknologi energi bersih akan berkembang pesat sampai 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040.

Indonesia merupakan produsen nikel terbesar dunia saat ini. Selain terbesar dari sisi volume, kualitas nikel di Indonesia juga terbaik di dunia. Nikel kelas satu sangat dibutuhkan untuk pengembangan baterai mobil listrik untuk campuran jenis logam cobalt.

Meski permintaan nikel dari segmen baterai ini belum terlalu besar, namun segmen kendaraan listrik yang diperkirakan akan tumbuh cepat, akan memicu naiknya permintaan nikel kelas satu dari Indonesia. Data dari IEA juga mengungkapkan, kendaraan listrik saat ini menyumbang dua persen lebih dari penjualan mobil global dan akan menjadi 58 persen pada 2040.

Tiga daerah penghasil nikel terbesar dunia berada di Sulawesi. Beberapa daerah Sulawesi yang berkembang menjadi lokasi pertambangan nikel antara lain Kolaka (Sulawesi Tenggara), Morowali (Sulawesi Tengah) dan Luwu Timur (Sulawesi Selatan).

Tak hanya di Sulawesi, sumber daya mineral ini juga banyak ditemukan di Maluku. Di Maluku daerah tambang nikel antara lain terdapat di Halmahera (Maluku Utara) dan Pulau Ternate. Cadangan nikel juga meluas sampai ke Papua, yang lokasi tambangnya antara lain terdapat di Pulau Gag.

Memanfaatkan potensi cadangan nikel yang besar di tengah tren energi bersih, Indonesia pun telah menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Larangan tersebut diterapkan seiring dengan pengembangan industri hilir, agar sumber daya nikel bisa diolah di dalam negeri.

Nikel adalah masa depan Indonesia. Banyak pihak menyebut keberadaan industri nikel tidak hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh pesat di masa mendatang, tetapi juga membuat perekonomian daerah di lokasi pertambangan nikel berada juga bisa berkembang pesat.

Presiden Joko Widodo bahkan mengungkapkan keberadaan Weda Bay Industrial Park (IWIP) atau kawasan industri nikel terbesar di Indonesia yang terletak di Weda, Maluku Utara, membuat pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut sangat pesat mencapai 27 persen.

Sayangnya, langkah Indonesia untuk menjadikan komoditas nikel memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian nasional dihadang oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). 

 
Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang dilakukan sejak 2020. Dalam putusan WTO itu dinyatakan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
 
Kekalahan tersebut dinilai pemerintah bukan kiamat bagi industri nikel nasional. Masih ada waktu bagi Indonesia untuk mengajukan appeal atau banding, sekitar 1-2 tahun.
 
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menilai, pemerintah Indonesia memiliki hak untuk membuat kebijakan yang berdampak pada dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi, kebijakan pemerintah berlandaskan pada penguatan hilirisasi yang berdampak pada nilai tambah dalam negeri.
 
Dalam dua tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah cukup berhasil membangun ekosistem hilirisasi nikel sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan. Produk hilirisasi itu termasuk sejumlah produk stainless steel hingga bahan baku baterai kendaraan listrik.
 
Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah terus memperkuat ekosistem hilirisasi nikel dalam masa pengajuan banding selama dua tahun. Hiliriasi harus dipercepat, begitu juga produksi produk turunan nikel dipercepat sehingga bisa menghasilkan nilai tambah dan memperkuat ekosistem produk nikel sampai kendaraan listrik.
 
Dengan berkembangnya ekosistem hilir produk nikel di dalam negeri, diharapkan akan dapat menyerap produksi nikel sehingga mendongkrak harga bijih nikel di dalam negeri meningkat dan mencapai keekonomian sebagaimana harga di luar negeri. Sesuai sistem ekonomi pasar, jika harga keekonomian nikel bisa terbentuk di dalam negeri, maka para produsen bijih nikel akan menjual ke dalam negeri.
 
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement