Selasa 29 Nov 2022 03:02 WIB

Pakar Harap Pemerintah tidak Terburu-Buru Umumkan Soal Akhir Status Pandemi

Ada sejumlah hal yang harus diperhatikan sebelum memasuki fase endemi.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Vaksinasi. Ilustrasi
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Vaksinasi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyataman adanya peluang bahwa pandemi Covid-19 akan berakhir pada bulan Maret 2023 mendatang. Menanggapi pernyataan presiden, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman turut optimistis bahwa pandemi Covid-19 bisa dinyatakan berakhir pada kuartal pertama tahun 2023. 

Namun, kata dia, kemungkinan tersebut hanya bisa tercapai asalkan jumlah kasus positif Covid-19 tidak mengalami pelonjakan. Selain itu, vaksinasi ketiga atau booster juga harus terus digencarkan hingga mencapai cangkupan 90 persen sebelum pandemi ini dinyatakan berakhir. 

Baca Juga

Dicky memprediksi lonjakan kasus Covid-19 bakal terjadi hingga akhir Januari 2023 akibat banyaknya subvarian baru Omicron yang menyebar. “Sangat mungkin naik hingga Januari 2023, karena juga saat ini gelombang yang terjadi  disebabkan lebih dari satu subvarian,” kata Dicky yang juga sekaligus peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global ini, Senin (28/11/2022).

Bagaimanapun, akhir dari status pandemi ini bukan berarti virus Covid-19 tidak ada sama sekali. Menurut epidemiolog UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D., virus tersebut akan tetap ada di tengah masyarakat. Hanya saja, tingkat keparahannya tidak lagi menjadi ancaman kesehatan yang serius.

Oleh karena itu, instruksi Presiden Jokowi yang meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk berkonsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai status pandemi Covid-19 pada bulan Oktober lalu dianggap terlalu terburu-buru. Hingga saat ini, kebijakan mitigasi Covid-19 dan juga perilaku masyarakat Indonesia masih dinilai kurang siap untuk menyambut berakhirnya status pandemi Covid-19.

Hingga saat ini, masyarakat belum sepenuhnya disiplin dalam melakukan 5M (mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Oleh karena itu, pemerintah hendaknya menerapkan kebijakan agar masker bisa menjadi budaya baru di masyarakat. 

Jika masyarakat dibiasakan untuk tetap memakai masker, terutama di ruang tertutup, maka risiko penularan virus Covid-19 dan penyakit saluran pernapasan lainnya dapat berkurang hingga 75%. Membiasakan diri untuk rajin mencuci tangan  dan menghindari keramaian jika tidak terlalu diperlukan juga sama pentingnya.

Tak hanya itu saja, Pemerintah Indonesia sebaiknya terlebih dahulu memastikan cukup atau tidaknya suplai vaksin booster yang tersedia di berbagai daerah. Belum lagi, edukasi tentang pentingnya vaksinasi kepada masyarakat juga masih menjadi PR besar hingga saat ini. Sampai sekarang, capaian vaksinasi Covid-19 dosis pertama hanya 87,5 persen dan vaksinasi dosis kedua 73,41 persen. Adapun masyarakat yang sudah mendapat vaksin doksis ketiga atau booster baru 28,21 persen, yang mana masih jauh dari target vaksinasi untuk mengakhiri status pandemi yang dikemukakan oleh Dicky Budiman.

Padahal, vaksinasi COVID-19 ini akan tetap dibutuhkan secara rutin hingga beberapa tahun ke depan menurut Teguh Haryo Sasongkok, peneliti kesehatan dari International Medical University Malaysia. Bagaimanapun juga, varian baru dari virus Corona ini akan terus bermunculan sehingga vaksin untuk virus tersebut juga perlu untuk selalu dimutakhirkan. Jika  demikian, maka Indonesia masih mempunyai banyak PR yang harus diselesaikan sebelum bisa memasuki status endemi.

Sebelumnya, presiden mengatakan terdapat kemungkinan dalam waktu dekat pemerintah akan menyatakan pandemi Covid-19 berakhir.

“Pandemi memang sudah mulai mereda. Mungkin sebentar lagi juga akan kita nyatakan pandemi sudah berakhir,” kata Presiden Jokowi dalam sebuah di Jakarta, beberapa waktu lalu, seperti dilansir dari Antara.

Meski demikian, kata Presiden, tekanan terhadap negara-negara di dunia termasuk Indonesia tidak serta merta berakhir. Hal itu karena situasi ekonomi di dunia tidak berada dalam kondisi baik.  

Presiden mengatakan, ketidakpastian ekonomi saat ini sangat tinggi. Hal itu menyebabkan seluruh negara, bahkan negara-negara maju berada pada posisi yang sulit.

“Yang kita lihat ini dunia, pemulihan ekonomi pascapandemi memang belum pada kembali normal, tetapi justeru semakin tidak baik,” ujar dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement