Rabu 30 Nov 2022 23:49 WIB

Diskrepansi Data Kesehatan Hambat Implementasi Kebijakan Strategis

Dinskrepansi data kesehatan antara Kemenkes dan BPS terjadi pada data perokok anak

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Stiker larangan merokok terpasang di rumah warga di Depok, Jawa Barat. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Stiker larangan merokok terpasang di rumah warga di Depok, Jawa Barat. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghimpunan data yang berbeda dari kementerian/lembaga pelat merah seringkali menimbulkan kebingungan publik. Hal ini  memiliki potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.

Adapun situasi yang umum disebut diskrepansi, sehingga menimbulkan multitafsir terhadap data yang berbeda-beda yang memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS). 

Survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kementerian Kesehatan. Sebaliknya, Kementerian Kesehatan  menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora mengatakan hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Adapun faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data. 

“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisha. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” ujarnya, Rabu (30/11/2022).

Menurutnya perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023. 

Sementara itu Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Nur Rohim Yunus menilai diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.

“Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan,” ucapnya.

Menurutnya, Kementerian Kesehatan semestinya merujuk data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara seperti diwajibkan oleh Undang-undang. Namun, dia mengamati Kementerian Kesehatan justru mengambil data dari lembaga asing sebagai rujukan. 

Nur Rohim berpandangan hal ini malah memperparah diskrepansi data yang ada, selain juga memunculkan kesan bahwa BPS terpinggirkan oleh lembaga asing. Menurutnya pemerintah sejatinya juga telah berupaya mengentaskan tantangan diskrepansi data antar kementerian/lembaga ini via penerbitan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI).

Adapun beleid ini mendorong kementerian/lembaga sebagai produsen data untuk mengacu standar data yang disusun BPS. BPS juga perlu menjadi leading sector untuk mewujudkan data statistik yang berkualitas sebagai basis referensi kebijakan pemerintah. 

“Perlu adanya upaya mewujudkan Visi Satu Data Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 39 Tahun 2019. Bila Visi SDI dapat terwujud dengan baik, maka tidak akan terjadi lagi diskrepansi karena data yang diambil oleh berbagai pihak berdasarkan pada sumber yang sama. Tentunya data yang dirujuk harus akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement