Jumat 02 Dec 2022 15:45 WIB

Gempa Cianjur Harus Jadi Evaluasi, Kurikulum Bencana Dinilai Perlu Masuk RUU Sisdiknas

Banyaknya pelajar yang menjadi korban jiwa dalam gempa Cianjur harus menjadi evaluasi

Red: Mas Alamil Huda
Suasa SD Negeri Gasol yang rusak akibat gempa di Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Kabuoaten Cianjur, Jawa Barat, Ahad (26)7/11/2022). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 526 infastruktur rusak, yakni 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan tiga fasilitas kesehatan. Sedangkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Suasa SD Negeri Gasol yang rusak akibat gempa di Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Kabuoaten Cianjur, Jawa Barat, Ahad (26)7/11/2022). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 526 infastruktur rusak, yakni 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan tiga fasilitas kesehatan. Sedangkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Banyaknya pelajar yang menjadi korban jiwa dalam gempa di Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, harus menjadi evaluasi khusus. Fakta tersebut dinilai menunjukkan perlunya kurikulum tentang kebencanaan dimasukkan dalam revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

"Kami menilai sudah saatnya kurikulum bencana ini menjadi bagian dari penting dari revisi RUU Sisdiknas yang saat ini digodok Kemendikbud Ristek (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi). Dengan demikian upaya untuk mengurangi korban jiwa dan materi dalam setiap bencana bisa diwujudkan," kata Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Jumat (2/12/2022).

Baca Juga

Huda menjelaskan, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi intensitas bencana yang cukup tinggi. Keberadaan Indonesia berada di cincin api yang memicu potensi gempa bumi, meletusnya gunung berapi, hingga tsunami merupakan fakta alam yang tidak bisa dihindari. 

BMKG mencatat sejak tahun 2008 hingga tahun 2015, tercatat rata-rata kejadian gempa bumi sekitar 6.000 kejadian dalam setahun. Kemudian, pada tahun 2018 meningkat menjadi 11.920 kali dan pada tahun 2019 tercatat sekitar 11.588 kali kejadian. Setelah turun di 2020, di 2021 ada lompatan intensitas kejadian. 

"Dan baru saja kita menjumpai fakta pahit bagaimana gempa Cianjur menimbulkan ratusan korban jiwa," ujar Huda.

Ironinya, kata Huda, tak sedikit dari korban jiwa tersebut adalah para peserta didik. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Pemkab Cianjur, setidaknya ada 42 siswa dan 10 guru di level PAUD hingga sekolah menengah pertama yang menjadi korban meninggal. 

"Jumlah ini masih belum termasuk kemungkinan siswa SMA/SMK yang jadi korban. Jadi saya merasa fakta ini harus disikapi secara serius dengan memasukkan kurikulum bencana dalam RUU Sisdiknas," katanya. 

Apalagi, lanjut Huda, dampak perubahan iklim juga mulai dirasakan dengan kian tingginya intesitas bencana hidrometeorologi dalam bentuk banjir bandang, tanah longsor, hingga cuaca esktrem di berbagai daerah di Indonesia. Situasi ini dinilai harus benar-benar menjadi concern para pemangku kepentingan termasuk di bidang pendidikan agar potensi tingginya korban bisa ditekan.

"Kami merasa melalui sekolah bisa diajarkan bagaimana harus bersikap saat ada bencana. Dengan demikian, kesadaran akan tingginya potensi bencana serta bagaimana cara mengantisipasinya bisa tertanam sejak dini," katanya. 

Politikus PKB ini mendesak agar Kemendikbud Ristek benar-benar menerapkan paradigma kebencanaan ini dalam proses penyusunan kurikulum pendidikan di Indonesia. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2019 pun telah menyerukan hal yang sama. 

"Kami berharap ke depan kesadaran akan tingginya potensi bencana di Indonesia menjadi paragdima dalam penyusunan kurikulum pendidikan maupun penyusunan kebijakan publik lainnya. Sehingga kita bisa meminimalkan potensi korban jiwa maupun material dalam setiap bencana yang terjadi," kata Huda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement