Senin 05 Dec 2022 20:45 WIB

CIPS: Anggaran Ketahanan Pangan Harus Fokus Pada Pertanian Berkelanjutan

CIPS nilai Indonesia sudah seharusnya mulai bercocok tanam efisien dan berkelanjutan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani menanam padi (ilustrasi). Anggaran ketahanan pangan pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang memprioritaskan terwujudnya pertanian berkelanjutan, misalnya seperti intensifikasi lahan, memastikan ketersediaan pupuk dan benih berkualitas serta peningkatan produktivitas.
Foto: Kementan
Petani menanam padi (ilustrasi). Anggaran ketahanan pangan pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang memprioritaskan terwujudnya pertanian berkelanjutan, misalnya seperti intensifikasi lahan, memastikan ketersediaan pupuk dan benih berkualitas serta peningkatan produktivitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran ketahanan pangan pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang memprioritaskan terwujudnya pertanian berkelanjutan, misalnya seperti intensifikasi lahan, memastikan ketersediaan pupuk dan benih berkualitas serta peningkatan produktivitas.

“Selain ketiga hal tadi, regulasi untuk investasi pada sektor pertanian perlu memberikan kemudahan pada calon investor. Masuknya investasi juga perlu diarahkan pada upaya-upaya untuk modernisasi pertanian,” ucap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi, dalam keterangan tertulis, Senin (5/12/2022).

Ia menambahkan, idealnya Indonesia sudah mulai mengadopsi cara-cara bercocok tanam yang lebih efisien dan berkelanjutan, seperti dengan mekanisasi pertanian, pertanian yang berbasis data yang kuat, pertanian organik, sistem pengendalian hama terpadu dan pengembangan input pertanian yang lebih berkelanjutan.

Penggunaan praktik budidaya yang berkelanjutan juga dapat meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia. Sebagai contoh, permintaan pasar global untuk kakao atau kopi yang bersertifikasi berkelanjutan semakin meningkat.

Praktik budidaya yang disebut-sebut tidak berkelanjutan menghambat masuknya crude palm oil ke pasar Eropa. Padahal jika penerapan pertanian berkelanjutan sudah diadopsi, peluang untuk ekspansi pasar terbuka lebar untuk para petani.

Tuntutan akan produk pertanian yang dihasilkan lewat cara-cara yang berkelanjutan dan juga lewat tata kelola (governance) yang baik bukan tidak mungkin akan menjadi persyaratan utama di masa mendatang. Hal ini, lanjut Azizah, perlu diperhatikan dan direspons sesegera mungkin.

Ketika tuntutan tersebut ada dan dapat dipenuhi oleh produsen / negara lain, maka Indonesia berpotensi kehilangan pasar dan sulit bersaing di pasar internasional.

Selain itu, perdagangan pangan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan swasembada yang berfokus pada ekstensifikasi pertanian dan proteksionis yang cenderung tidak terbuka terhadap impor dapat berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas pertanian yang tidak efisien.

Untuk menekan emisi dan memastikan stabilitas ketahanan pangan pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi sumber pangan dan sistem pertanian.

Pertanian, sebagai sumber pangan utama, memiliki kontribusi besar terhadap pemanasan global. Tapi di saat bersamaan, pertanian juga sangat rentan terdampak bencana iklim, karenanya perlu adanya transformasi sistem pangan Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan untuk memastikan terjaganya ketahanan pangan nasional.

Diketahui, pemerintah telah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp 3.061,2 triliun. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat mencapai Rp 2.246,5 triliun dan transfer ke daerah Rp 814,7 triliun. Sementara, jumlah anggaran ketahanan pangan adalah Rp 104,2 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement