Selasa 06 Dec 2022 23:46 WIB

Guru Diajak Terapkan Pengajaran dengan Melihat Kemampuan Masing-Masing Siswa

Perlu regulasi yang mengikat antara dinas pendidikan dengan sekolah.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Kegiatan Temu Inovasi ke-14 di sesi breakout 1 dengan tema Capaian Keterampilan Dasar Siswa Indonesia, Selasa (6/12/2022).
Foto: Dok. Web
Kegiatan Temu Inovasi ke-14 di sesi breakout 1 dengan tema Capaian Keterampilan Dasar Siswa Indonesia, Selasa (6/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru di sejumlah daerah masih fokus dalam merampungkan target kurikulum. Untuk mencapai target tersebut, guru dinilai masih melihat materi di buku dan menggunakan materi dengan cara yang sama untuk semua anak di satu kelas. Persoalannya, cara itu belum tentu cocok untuk semua anak yang ada di kelas tersebut.

Hal itu diungkapkan Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Zulfikri Anas saat menjadi pembicara di acara Temu Inovasi ke-14 di sesi breakout 1 dengan tema Capaian Keterampilan Dasar Siswa Indonesia, Selasa (6/12/2022).

Baca Juga

Zulfikri mengungkapkan, cara yang dilakukan oleh para guru selama ini kurang memerhatikan kemampuan para siswa dan hanya berpatokan pada kurikulum.

“Guru itu adalah korban dari target kurikulum dan siswa adalah korban berikutnya. Saya pernah menemukan sebuah sekolah di mana siswa kelas 10 yang usianya rata-rata 15 tahun ke atas yang masih tertinggal pelajaran matematikanya. Ini karena guru mengajar hanya berdasarkan kurikulum tanpa melihat kemampuan siswa. Ketika diminta mengisi soal perkalian, untuk satu dan dua digit masih bisa tapi untuk tiga digit dan seterusnya kesulitan. Setelah dicek lagi, kemampuan siswa kelas 10 itu setara dengan siswa kelas 2 SD. Lalu diambil jalan tengahnya, siswa kelas 10 itu diajarkan sebagaimana layaknya anak kelas 2 SD,” kata Zulfikar.

Zulfikar mengungkapkan, literasi siswa-siswi sebenarnya sudah cukup tinggi. Namun, terkadang kurikulum yang diterapkan membuat literasi mereka seperti jatuh ke titik nol.

“Saya pernah ke salah satu sekolah di Papua. Di dalam kelas itu ada buku Lelucon Berbuah Masalah. Saya tanya kepada mereka apa artinya lelucon dan mereka tidak tahu. Padahal kalau saja kata Lelucon itu diganti dengan kata Mop yang lebih dikenal maka mereka pasti tahu. Lalu mereka ketika membaca berbu maka yang diingat adalah berburu bukan berbuah. Mereka juga tidak paham maksud dari lelucon berbuah masalah,” jelas Zulfikar.

Karena itu, Zulfikar menilai, pendidikan usia dini merupakan yang paling berat karena menjadi fondasi. Seorang guru yang mengajarkan siswa usia dini sebenarnya tidak hanya mengajarkan sang anak tetap juga orangtuanya.

Kepala Bidang Sekolah Dasar Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Sumba Tengah  NTT Magdalena Kalli menjelaskan, ada kesenjangan pendidikan di Sumba Tengah. Karena itu, Bupati Sumba Tengah mengeluarkan kebijakan 3 M itu yaitu Membaca, Menghitung dan Menulis.

“Kemampuan berhitung siswa di Sumba Tengah itu ternyata baru 30 persen. Karena itu, kami meminta 40 sekolah yang ada di Sumba Tengah untuk segera menjalankan kebijakan 3M. Intinya kami ingin meningkatkan kemampuan siswa,” kata Magdalena.

Magdalena menambahkan, untuk meningkatkan kemampuan siswa usia dunia maka perlu regulasi yang mengikat antara dinas pendidikan dengan sekolah.

Zulfikar menambahkan, kurikulum merdeka yang dirancang pemerintah ditujukan untuk bisa diterapkan di semua sekolah seminim apa pun.

“Sepanjang ada anak yang mau belajar dan orang dewasa yang mendampingi itu bsia. Jadi sasarannya bukan ubah kurikulum tetapi bagaimana meningkatkan pelayanan kualitas pendidikan kepada peserta didik,” kata Zulfikar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement