Kamis 08 Dec 2022 05:56 WIB

Para Guru Didorong Bangkitkan Kompetensi Spesifik Masing-Masing Siswa

Siswa dengan multi kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Siswa mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) di SD Negeri Samirono, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi).
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Siswa mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) di SD Negeri Samirono, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru di Indonesia saat ini dihadapkan kepada tantangan pemberian materi esensial dalam upaya memulihkan hasil pembelajaran yang hilang selama pandemi Covid-19. Para pengajar memainkan peran penting dalam upaya tersebut. Untuk meningkatkan hasil pembelajaran, refleksi dengan merujuk pada sejumlah indikator yang bisa dipakai juga penting untuk dapat dijalankan oleh sekolah dan dinas. 

“Misalnya, indikator berbagi pengalaman atau sharing yang mungkin tadinya tidak dipakai oleh para guru, kini seharusnya menjadi bagian dari kegiatan sekolah,” kata Peneliti Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Lukman Solihin, dalam sesi diskusi di ajang Temu Inovasi ke-14 yang digelar di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Rabu (7/12/2022).

Baca Juga

Diskusi ini menjadi ajang bertukar pengetahuan dan pengalaman para praktisi dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan dalam mendorong transformasi pembelajaran. Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Tana Tidung, Kalimantan Utara, Irdiansyah, dan  Guru SDN Dungkek 1 Sumenep, Jawa Timur, Tutuk Nuyati. 

Dalam diskusi tersebut juga disampaikan hasil studi Kesenjangan Hasil Pembelajaran selama pandemi Covid-19 yang dilakukan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Program Inovasi.

Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun terakhir menjadi tantangan bagi sekolah dalam menjalankan pembelajaran. Kementerian telah membuat kebijakan, termasuk Kurikulum Merdeka, sebagai opsi pemulihan pembelajaran. 

Kurikulum ini membuat sekolah lebih fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi. Pembelajaran juga bisa lebih mendalam dan bermakna. Para guru dan siswa memiliki ruang dalam pembelajaran sesuai tahap capaian peserta didik. Kegiatan pembelajaran pun bisa lebih relevan dan interaktif.  

Selain mengimplementasikan kurikulum yang sesuai, menurut Lukman, sekolah dan dinas pendidikan juga perlu melakukan identifikasi permasalaham, refleksi terhadap hasil yang selama ini dicapai dan melakukan perbaikan apabila ditemukan permasalahan. Dengan demikian, upaya transformasi pembelajaran dan peningkatan hasil belajar, terutama literasi dan numerasi, bisa berjalan lebih baik. “Literasi dan numerasi adalah aspek dasar siswa supaya bisa belajar lebih baik di tingkat selanjutnya,” kata Lukman. 

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Tana Tidung, Kalimantan Utara, Irdiansyah, mengatakan bahwa asesmen di awal pembelajaran dan pembelajaran terdiferensiasi yang dipelajari dari Program Inovasi juga terbukti mendorong perbaikan hasil belajar siswa. Kolaborasi pemerintah daerah dan pusat, termasuk UPT di Provinis serta mitra pembangunan dan pihak swasta juga berperan besar dalam membantu sekolah dan siswa dalam pembelajaran. 

“Pemerintah daerah selalu berkomunikasi dan  berusaha memenuhi kebutuhan pendidikan, termasuk  di daerah yang kesulitan akses. Kami optimistis dengan inovasi pendidikan bisa mengubah paradigma pembelajaran yang lama,” ujar Irdiansyah.

Guru SDN Dungkek 1 Sumenep, Jawa Timur, Tutuk Nuyati, mengatakan keterbatasan sarana teknologi dan informasi menjadi tantangan para pendidik untuk meningkatkan pembelajaran di sekolah. Ditambah lagi kemampuan para guru dalam menggunakan perangkat teknologi juga tidak merata.

 “Akhirnya kami mengatasinya dengan membangun kesadaran bersama, berkolaborasi dan saling berbagi pengalaman,” kata Tutuk yang bersama koleganya mengembangkan aplikasi asesmen membaca formatif untuk mendorong efisiensi dan kemudahan penggunaan oleh para pendidik. 

Sementara itu, Laporan Studi Kesenjangan Pembelajaran – 3, Kesenjangan yang Kian Melebar: Dampak Pandemi Covid-19 pada Siswa dari Kelompok Paling Rentan di Indonesia, mengungkapkan bahwa meskipun Covid-19 berdampak untuk semua siswa, siswa dari kelompok rentan cenderung paling terdampak. 

Siswa dengan multi kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah. Siswa di pedesaan dan daerah terpencil lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi tingkat 1 sehingga tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan dengan siswa di perkotaan. 

Bagi kelompok siswa penyandang disabilitas, sebanyak 91 persen siswa laki-laki penyandang disabilitas di pedesaan tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum, sementara jumlah siswa laki-laki penyandang disabilitas di perkotaan yang tidak memenuhi keterampilan minimum mencapai 82 persen. 

Data juga menunjukkan 75% siswa yang tinggal di pedesaan tidak mencapai tingkat kemampuan minimum literasi. Kondisi serupa juga terjadi pada 83% siswa dengan disabilitas dan 68% anak yang menggunakan bahasa daerah alih-alih bahasa Indonesia. Siswa perempuan juga cenderung lebih banyak kehilangan hasil pembelajaran selama pandemi Covid-19. 

Adolescent Development Officer UNICEF Indonesia Annissa Elok Budiyani mengungkapkan bahwa dalam mendukung perbaikan, mengejar ketertinggalan belajar, penting untuk menyediakan diagnostic tool yang dapat digunakan guru dalam mendukung proses pembelajaran terdeferensiasi.

Selain itu, hal-hal struktural yang menyebabkan kesenjangan pembelajaran yang sudah ada sebelum pandemi seperti misalnya ketersediaan guru di daerah terpencil juga perlu terus diatasi.  

“Dalam memahami kerentanan, sudut pandang interseksional menjadi penting. Studi ini memberikan pandangan tersebut,” ujar dia.

Disabilitas juga merupakan isu kompleks yang perlu lebih didalami detil tingkat kerentanannya. 

“Misalnya disabilitas tuli. Tidak semua anak yang lahir tuli memiliki lingkungan dan dukungan yang memadai sehingga perkembangannya menjadi terhambat. Selain itu siswa dengan disabilitas intelektual pasti akan memiliki masalah dalam literasi dan numerasi,” ujar Ahsan Romadlon Junaidi, Dosen Universitas Negeri Malang. 

Dia menambahkan bahwa penetapan standar ujian nasional bagi penyandang disabilitas perlu ditinjau kembali. “Kompleksitas kerentanan penyandang disabilitas perlu dilihat lebih dalam sehingga kita dapat mengetahui literasi dan numerasi yang tepat untuk ragam disabilitas,” kata dia.  

Kepala Sub Direktorat Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah, Direktorat Pendidikan Dasar Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Siti Sakdiyah mengungkapkan, walau pun tidak memiliki guru pendamping khusus bagi disabilitas, tidak ada pembedaan dan penolakan di pesantren. Namun demikian, sarananya memang belum mengakomodir kebutuhan khusus.

Disabilitas, kata Siti, memang merupakan isu kompleks yang perlu lebih didalami rincian tingkat kerentanannya. 

“Pendidikan inklusi juga menjadi perhatian Kemenag dengan terbentuknya pokja pendidikan inklusi di 2021. Pada saat ini ponpes juga ada yag mengakomodir kebutuhan khusus, misalnya disabilitas netra. Desain ruangan, teknologi dan bahan ajar juga sudah dipersiapkan sesuai kebutuhan,” kata Siti.

Transformasi pembelajaran saat ini sudah mengarah pada inklusifitas dengan adanya perubahan pada regulasi serta praktik baik. Namun tantangan keterbatasan anggaran, pemahaman yang masih terbatas dan dukungan orang tua juga masih terbatas.

Isu ini masih kompleks. antara kebijakan dan implementasi kadang masih ada gap. Karena itu, isu ini masih perlu terus diatasi dan memerlukan pendekatan kolaborasi dari para pihak. Kejelasan di tingkat operasional juga harus ditingkatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement