Restoran 'Smile' Hari Itu tak Bisa Tersenyum

Reuters/Marko Djurica
Seorang pelayan restoran membawa pesanan pelanggan di sebuah restauran di Porto Alegre, Brasil.
Red: Didi Purwadi

Oleh Endro Yuwanto dari Rio de Janeiro

Buka setiap hari mulai pukul 10.30 hingga 16.30, restoran "Smile" di Jalan Aristides Caire, Meier, Rio de Janeiro itu tak pernah sepi pembeli.


Pemilik restoran, Daniel Lee (30 tahun), dan lima karyawannya selalu ramah menyambut para pembeli. Tak lupa senyuman tersungging di bibir mereka. Mungkin karena itulah restoran tersebut bernama "Smile" alias tersenyum.

Para pelayan "Smile" cekatan dalam melayani pembeli. Termasuk terhadap pembeli dari luar Brasil seperti saya. Tak ada rasa canggung ketika salah satu pelayan, Kayla, melayani saya yang tak bisa berbahasa Portugis--bahasa resmi yang digunakan masyarakat Brasil.

Kayla, gadis tambun berkulit hitam asli kelahiran Rio de Janeiro, juga tak bisa berbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia. Jadilah kami menggunakan bahasa isyarat saat saya memesan menu makanan.

Kayla dengan cepat mengerti apa yang saya mau setiap menunjuk kertas daftar menu makanan. Mana yang ingin saya makan dan mana yang tidak, ia dengan sigap mengiyakannya. Pelayanan satu ini lumayan cerdas lantaran dengan hanya menggunakan isyarat tangan, pesanan saya tak pernah salah.

Menu makanan di "Smile" termasuk ramah buat lidah saya. Mungkin karena Daniel juga bukan orang asli Brasil. Ia orang Cina yang sudah merantau sejak 15 tahun lalu dari kampung halamannya di Guangdong. Berkat bantuan saudara-saudaranya yang lebih dulu tinggal di Rio de Janeiro, Daniel bisa menyewa lokasi untuk membuka restoran.

Menu yang disediakan Daniel antara lain mie goreng, bihun goreng, kentang goreng, nasi plus daging ayam dan telur. Tentu saja menu-menu itu tetap dilengkapi dengan makanan pelengkap khas Brasil seperti salad dan feijaoda alias sup kacang hitam.

Makanan yang disajikan "Smile" termasuk tak mahal untuk ukuran warga Rio de Janeiro. Makan plus minum air mineral biasanya hanya 13 reais atau sekitar Rp 71.500. Tak mahal karena restoran-restoran lainnya rata-rata mematok harga di atas 20 reais untuk menu yang sebenarnya nyaris sama.

Tak mahal karena satu porsi makanan di "Smile" sangat berlimpah dengan ukuran piring dua kali lebih besar dibanding piring umumnya. Kadang karena saking banyaknya, saat makan siang di sini, saya tak lapar lagi hingga malam hari.

Tak mahal pula karena "Smile" menyediakan hiburan televisi layar lebar di tengah-tengah meja pengunjung. Sambil menyantap makanan, saya bisa menyaksikan pertandingan siaran langsung Piala Dunia 2014 yang digelar di luar Rio de Janeiro. Wajar bila restoran milik Daniel tak pernah sepi pembeli.

Saat rooling door restoran yang terletak di persimpangan jalan dan perhentian bus kota itu dibuka, selalu saja ada pembeli yang mengantre hendak masuk. Padahal, pelayan Daniel masih sibuk berbenah di dapur.

Dagangan Daniel juga cepat habis. Kadang sebelum pukul 16.00 ia sudah menutup restorannya. Padahal saya pikir-pikir, dengan melihat jam buka dan tutupnya, restoran ini sebenarnya hanya menjaring pembeli saat makan siang.

Di seberang restoran "Smile", ada pula orang asal Cina yang membuka usaha toko roti dan minuman ringan termasuk jus buah. Toko tanpa nama ini menjadi alternatif saya jika di malam hari kelaparan karena "Smile" susah tutup sejak pukul 16.30.

Toko roti milik Carla Lee ini buka hingga pukul 21.00. Carla adalah saudara sepupu dan sekampung dengan Daniel. Ia belum lama merantau ke Rio de Janeiro. Baru sekitar dua tahun.

Carla mengaku, meski tak sebanyak orang Jepang, saat ini orang Cina sudah mulai berduyun-duyun merantau ke Brasil. Namun ia tak tahu persis berapa orang Cina yang saat ini menetap di Rio de Janeiro. "Kata paman saya, sebenarnya sejak abad ke-19 dan 20, bangsa kami sudah merantau di sini, tapi sepertinya tak banyak," katanya.

Entah lantaran jarang bertemu orang Cina, saat pertama kali mendatangi "Smile", Daniel menyangka saya berasal dari Cina juga. Kala itu sambil tertawa saya menjawab,"Bukan, saya dari Indonesia, tapi tak terlalu jauhlah dari Cina."

Daniel tersenyum. Tapi saya tak tahu apakah ia mengerti perkataan saya atau tidak. Saya pun mengulang lagi sambil menepuk dada sendiri,"Indonesia!" Lagi-lagi ia hanya tersenyum-senyum. Hmm..pantas nama restorannya "Smile..." gumam saya.

Tapi hari itu, Jumat (27/6), saya tak lagi melihat Daniel tersenyum. Tak seperti biasanya, ia mendatangi meja saya. Sebelum-sebelumnya ia hanya berdiri di belakang loket kasir. Dengan bahasa isyarat, saya mengerti ia menyampaikan pesan restorannya terpaksa harus tutup esok, Sabtu (28/6). "Brasil." Kata dia seraya menampakkan muka muram.

Kali ini giliran saya yang tersenyum. Saya paham arah perkataan Daniel. Restoran "Smile" terpaksa harus tutup karena pada Sabtu itu tuan rumah Brasil bertanding melawan Cile di babak 16 Besar Piala Dunia. Di hari yang sama Stadion Maracana di Rio de Janeiro juga menggelar laga babak 16 Besar antara Kolombia kontra Uruguay.

Pemerintah di Rio de Janeiro sejak pembukaan Piala Dunia menetapkan setiap tim nasional Brasil bertanding atau setiap Maracana digunakan untuk menggelar pertandingan, maka warga kota itu mendapatkan libur bersama. Alasan-alasan inilah yang membuat "Smile" harus sering tutup sepanjang perhelatan Piala Dunia.

Sambil berbisik,"Brasil," Daniel lantas mengayunkan jari telunjuk bergerak seperti pisau yang memotong lehernya. Saya pun paham maksudnya.

Daniel menginginkan Brasil tersingkir lebih cepat agar tak ada libur bersama lagi. Sehingga restorannya bisa tetap buka setiap hari. Agaknya, Daniel ingin terus tersenyum seperti nama restorannya.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler