Penolakan RUU Tembakau Dinilai Propaganda Hiperbolis

Seorang warga menjemur tembakau di Desa Ngerong, Kab. Magetan, Jatim.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Panja RUU Pertembakauan, Firman Subagyo menepis tudingan gerakan antitembakau yang menyatakan industri rokok di balik RUU Pertembakauan yang saat ini dibahas DPR. Menurut Firman, tuduhan tersebut sebagai propaganda hiperbolis yang mengancam semangat nasionalisme di Indonesia.

“Gerakan antitembakau melakukan propaganda hiperbolis yang dikendalikan oleh perusahaan asing untuk mematikan sektor tembakau yang strategis di Indonesia,” kata Firman di Gedung DPR Senayan, Selasa (28/6).

Firman menganggap ancaman gerakan antitembakau dari dalam negeri jauh lebih berbahaya daripada ancaman lansung dari negara asing. Menurut dia, orang atau para aktivis antitembakau dapat merusak tatanan negara dari dalam, dan itulah yang dimanfaatkan pihak asing.

“Mereka mengendalikan orang-orang penting di negara ini untuk merusak Indonesia,” tegas dia.

Politikus senior Golkar itu menjelaskan, RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan, diharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek. Seperti, pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, ketenagakerjaan, maupun aspek kesehatan.

Firman yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI mengatakan RUU Pertembakauan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun 2015 dan 2016. Firman menilai, Baleg sudah cukup mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti Komnas Pengendalian Tembakau, pelaku usaha pabrik, kelompok tani, serta kepala daerah. Meski demikian, sejak awal Baleg belum mengesahkan di Paripurna DPR kali ini.

Firman menjamin, RUU itu nantinya bertujuan untuk melindungi rakyat terutama petani tembakau. "Yang jelas UU ini tidak ada keberpihakan kepada kepentingan pengusaha, tapi mengatur hulu dan hilirnya pertembakauan di Indonesia," kata Firman.

Firman menegaskan, membuat RUU Pertembakauan ini semata-mata untuk rakyat. Maka, prosesnya harus pelan-pelan dan hati-hati, untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, karena UU tidak boleh diskriminatif.

"Saya tidak setuju mematikan tembakau, karena petani punya hak untuk hidup," ucap dia.

Gerakan antitembakau, menurut Firman bagai lagu yang diputar berulang-ulang yang rutin terus menerus diperdengarkan. Mereka mengatakan bahwa RUU Pertembakauan semakin menjauhkan Indonesia dari upaya ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia akan semakin dipermalukan di dunia internasional karena belum meratifikasi FCTC.

“FCTC bicara soal kesehatan pada kulit muka, namun bicara soal penyeragaman pada intinya. Produk tembakau harus diseragamkan, sesuai dengan produk internasional (rokok putih). Tidak akan ada lagi kretek, yang khas Indonesia. Apakah salah jika RUU Pertembakauan ingin melindungi produk khas dalam negeri?” tanyanya.

Firman pun menegaskan apakah tidak semakin malu negeri ini ketika industri yang 100 persen berwajah dalam negeri, baik dari hulu hingg hilir, akan dimatikan asing. “Bicara soal malu, Amerika Serikat juga memproduksi tembakau dan produk rokok di tingkat global, notabene merupakan inisiator lahirnya FCTC sekaligus lokasi WHO bermarkas, toh ternyata hingga kini juga belum meratifikasi/mengaksesi FCTC,” ucap dia.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler