Dwelling Time Diperpendek Buat Pengawasan Barang Masuk Jadi Longgar
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dwelling time (masa tunggu kontainer) yang diperketat ditengarai menjadi salah satu sumber masuknya barang-barang ilegal. Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menegaskan hal tersebut di ruang kerjanya, Kamis (30/6).
Menurut Bambang, barang-barang ilegal kini banyak masuk ke pasar nasional akibat tak terkendalinya manajemen dwelling time barang di pelabuhan internasional di seluruh Indonesia. Selama ini, kata dia, penyelundupan barang selalu dikambinghitamkan oleh pemerintah. Padahal, dwelling time itulah sumber masalahnya.
Menurut dia, dwelling time dibiarkan saja bekerja sesuai alurnya, tanpa harus diperketat. Akibat pengetatan masa tunggu kontainer itu, para petugas pelabuhan juga bekerja terburu-buru, sehingga mempercepat barang legal dan ilegal masuk tanpa penelitian lagi.
“Pemerintah meminta dwelling time diperpendek. Padahal, dweeling time menjadi agak lama, akibat banyaknya pengiriman barang impor yang tidak disertai oleh dokumen yang benar, sehingga ditempatkan pada posisi zona kuning dan merah. Orang-orang yang bertugas di pelabuhan internasional menjadi takut untuk mencegah barang-barang itu lama berada di pelabuhan,” ujar dia.
Bambang menuturkan dalam kondisi ekonomi yang stagnan ini, pemerintah menyalahkan aksi penyelundupan barang-barang ilegal, tanpa melihat sumber masalah utamanya. Selain persoalan dwelling time, masalah lain yang jadi sumber masalah juga adalah banyaknya pelabuhan internasional di Tanah Air. Ada 141 pelabuhan internasional yang beroperasi di Indonesia. Jumlah ini terlalu banyak, sehingga tidak terkontrol.
Menurut Bambang, idealnya pelabuhan internasional di Indonesia cukup 10-25 saja. Pelabuhan kelas internasional bisa ditempatkan di Aceh, Bitung, Batam, Medan, Ende, Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan Jayapura.
“Jumlah 141 pelabuhan sudah melebihi standar pelabuhan internasional untuk memfilter barang-barang ilegal maupun legal. Bahkan, barang-barang yang bisa dan tidak bisa diperjualbelikan seperti narkoba juga sulit difilter. Saya ibaratkan seperti Istana Kepresidenan yang memiliki pintu lebih dari 30. Ya, sudah wassalam. Mungkin pintu satu tidak bisa dibobol, tetapi pintu lainya bisa. Jadi, banyak pintu masuk untuk barang selundupan,” ujar dia.