Badan Keahlian Dewan Diharapkan Beri Solusi untuk Polemik Freeport
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Silang pendapat antara Pemerintah RI dengan Freeport masih terus bergulir. Pemerintah berprinsip pada semangat kedaulatan negara atas perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di wilayah NKRI. Merespons polemik tersebut Badan Keahlian Dewan (BKD) menyelenggarakan workshop bertema 'Freeport Quo Vadis' di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (9/3).
Acara ini dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, dia berharap diskusi ini bisa memberikan perspektif yang segar dan konstruktif. "Masalah pokoknya adalah belum ada titik temu, terkait kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri dan ketentuan besaran divestasi," ujar Fadli.
Persoalan Freeport Mulai Berdampak Luas
Dia menjelaskan seminar ini dilakukan untuk menemukan formulasi solutif, guna berkontribusi mengatasi permasalahan Freeport dalam rangka mendukung fungsi legislasi dan pengawasan DPR. Dari diskusi ini masukannya akan diberikan kepada komisi-komisi terkait untuk mengambil sikap pada pemerintah.
Adapun yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan Freeport adalah, pemerintah berpegang pada sikap yang berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, atau yang sering disebut Undang-Undang Minerba. Dan Peraturan Pemerintah Nomer 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah nomer 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara, PP Nomer 1 Tahun 2017.
Sementara Freeport mengambil posisi tidak sejalan dengan yang dikehendaki pemerintah, dengan medasarkan kontrak karya yang telah disepakati pada tahun 1991 dan akan berakhir pada tahun 2021. Freeport bahkan mengancam akan membawa permasalahan ini ke Badan Arbitrase Internasional, terkait peralihan stataus izin kontrak karya ke izin pertambangan khusus.
Seminar ini menghadirkan para ahli dan tokoh-tokoh intelektual, diantaranya Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, dan Konsultan Hukum Chandra Yusuf.