Anggota DPR Desak Revisi PNBP Angkutan Laut
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono mendesak pemerintah agar merevisi PP No.15/2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama yang menyangkut jasa angkutan laut. Kenaikan tarif pada jasa angkutan laut menyebabkan biaya tinggi dan itu membebani rakyat sebagai konsumennya.
“Saya mendesak Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan segera merevisi PP peninggalan Menhub Ignasius Jonan itu, karena dampak berantainya terhadap ekonomi sangat besar," ujar dia, melalui siaran pers, Jumat (24/3).
Dalam PP No.15/2016 itu, pemerintah menambah 435 pos tarif PNBP baru, sehingga jumlahnya mencapai 1.200 pos tarif dengan menaikkan 482 pos tarif 100 persen. Bahkan, ada yang lebih dari 1.000 persen. Beberapa pos tarif yang tidak ada layanannya juga wajib dibayar. Pos tarif ini tentu terlalu banyak dan terkesan mengada-ada. Akibatnya, biaya transportasi laut membengkak serta membebani logistik industri dan perdagangan dalam negeri. Akibatnya, disparitas harga di luar Jawa menjadi semakin tinggi.
“Publik akan sulit membayar biaya transportasi yang tinggi, pelayaran juga tidak akan sanggup memberikan pelayanan yang baik. Kondisi ini sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa dan barang publik yang diangkut serta kelangsungan usaha pelayaran,” ujar dia.
Apalagi, sambungnya, industri pelayaran saat ini sedang lesu akibat merosotnya muatan kapal di tengah perlambatan ekonomi nasional dan global. Informasi dari pelayaran, sedikitnya 30 persen armada niaga nasional menganggur dan sebagian perusahaan sudah gulung tikar. Padahal, pelayaran merupakan infrastruktur prasarana transportasi, selain juga sebagai sarana transportasi. Sebaiknya, justru diberikan insentif seperti pajak rendah, bunga murah, dan subsidi.
Ditambahkan Bambang, selain PNBP, pelayaran masih dibebani bermacam biaya, termasuk pajak tinggi yaitu 1,2 persen dari pendapatan (pajak final) dan biaya sertifikasi yang mahal dan tumpang tindih. “Tidak ada negara di dunia yang membebani pelayaran sedemikian masif. Ini bukti pemerintah tidak mampu mewujudkan program tol laut dan poros maritim,” kata dia.
Aturan lain yang memberatkan, ungkap Bambang, adalah Peraturan Menteri Perhubungan No.PM 45/2015 tentang Persyaratan Kepemilikan Modal Badan Usaha di Bidang Transportasi. Dia mengatakan PM yang akan berlaku pada 2018 itu, mengancam kelangsungan usaha pelayaran nasional, karena tidak sanggup memenuhi modal dasar Rp 50 miliar dan modal disetor minimal Rp 12,5 miliar seperti diperintahkan PM tersebut. “Industri pelayaran nasional bisa mati dengan berlakunya PM dan kita akan kesulitan mendapatkan transportasi laut di negara maritim ini,” kata Bambang.