Tatanan Perdagangan Dunia Saat Ini Masih Jauh dari Ideal
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Selama ini perdagangan lintas negara dipercaya memegang peran penting untuk memajukan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keuntungan ekonomi dan pembangunan yang ditimbulkan dari perdagangan internasional yang terbagi secara adil merata sangat berperan dalam membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Untuk menjamin pencapaian SDGs, sistem perdagangan internasional harus inklusif dan sejalan dengan prinsip no one left behind yang menjadi esensi tujuan pembangunan berkelanjutan. Inklusivitas harus dimaknai sistem perdagangan global tidak boleh menjadi zero-sum game dan mengabaikan hak sebagian kalangan untuk menikmati
keuntungan perdagangan internasional, khususnya masyarakat yang hidup di negara sedang berkembang dan negara kurang maju.
Pandangan tersebut disampaikan Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BKSAP DPR RI) Nurhayati Ali Assegaf saat memimpin Delegasi DPR RI sidang The Annual WTO Public Forum 2017 yang berlangsung pada tanggal 26-28 September 2017 di Markas Besar WTO, Jenewa – Swiss. Delegasi DPR RI pada sidang ini selain Nurhayati, hadir pula Andi Iwan Aras ( dari Partai Gerindra) dan Bara
Krishna Hasibuan ( dari PAN).
Tahun ini WTO Public Forum mengambil tema utama Trade Behind the Headlines yang dihadiri lebih dari 350 peserta dari seluruh dunia yang terdiri dari anggota parlemen, akademisi, pakar, organisasi masyarakat sipil dan organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang perdagangan.
“Kami menyayangkan realitas saat ini yang jauh dari ideal. Tidak dimungkiri perdagangan global masih dikuasai pihak-pihak yang memiliki posisi tawar dan keistimewaan dalam hal akses, dukungan finansial dan know-how. Ketidaksetaraan posisi menjadikan kompetisi antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin tidak berimbang. Demikian pula jika dilihat dari kesiapan UMKM di negara-negara sedang berkembang dan miskin untuk ikut bersaing dalam global value-chain,” ujar Nurhayati sebagai Ketua Delegasi DPR RI di depan 135 negara anggota Inter-Parliamentary Union (IPU) yang menghadiri Parliamentary Session within the framework of the WTO Public Forum 2017.
Ia menambahkan, anggota Parlemen merupakan perwakilan suara rakyat terutama kelompok masyarakat termaginalkan. Oleh karena itu keterlibatan para wakil rakyat dalam negosiasi perdagangan guna memastikan inklusivitas perjanjian-perjanjian yang disepakati. Parlemen adalah pengejawantahan suara rakyat, sangatlah penting memasukkan parlemen dari sejak awal negosiasi perjanjian perdagangan.
Parliamentary Session within the framework of the WTO Public Forum 2017 merupakan bagian dari The Annual WTO Public Forum yang merupakan sesi khusus bagi anggota parlemen. Sesi ini terselenggara sebagai hasil kolaborasi antara Inter-Parliamentary Union (IPU) dan Parlemen Eropa, dengan menghadirkan pembicara Joseph Hyacinthe Owona Kono (Anggota Parlemen Kongo), Helmut Scholz (Anggota Parlemen Eropa), Mukhisa Kituyi
(Sekretaris Jenderal UNCTAD), Sergi Corbalan (Executive Director Fair Trade Advocacy Office Brussels) dan Malik Parvez (Menteri Perdagangan dan Tekstil Pakistan) dengan moderator Ram Etwareea (Jurnalis Le Temps).
Delegasi DPR RI menyampaikan pula perkembangan terbaru mengenai kerja-kerja DPR terutama terkait RUU Persaingan Usaha yang memuat perlindungan terhadap usaha kecil menengah dari persaingan usaha dan sistem perdagangan yang tidak adil.
Delegasi DPR RI juga menyampaikan diperlukannya dukungan bagi diplomasi perdagangan internasional Pemerintah RI. Saat ini sebagai koordinator Group-33, Indonesia mendorong diselenggarakannya diskusi tentang bagaimana mengembangkan kepentingan negara berkembang dan negara miskin (Less Developed Countries -LDCs) pada instrument pembangunan dari Mekanisme Pengamanan Khusus (Special Safeguard Mechanism -SSM) dan Saham Perusahaan Umum (Public Stock-Holding-PSH) sebagaimana telah disepakati melalui Bali Package.