Kritik Hehamahua Soal Penghapusan Nilai Religiusitas KPK
KPK menyebut nilai religiusitas masuk dalam mukadimah kode etik dan pedoman perilaku.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah merampungkan revisi kode etik bagi pimpinan KPK Filri Bahuri cs. Salah satu yang diubah dalam revisi terbaru itu adalah digantikannya nilai religiusitas dengan nilai sinergi.
Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menilai, dengan hilangnya nilai religiusitas dari nilai-nilai dasar pribadi pegawai KPK, penanganan korupsi makin barbar. Pasalnya, penanganan korupsi tidak lagi ditangani secara profesional dan berintegritas, tetapi akan dilakukan sesuai dengan order penguasa dan pengusaha.
"Maka, terjadilah senjata penegak hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," ujar Abdullah saat dikonfirmasi, Senin (9/3).
Konsekuensinya, Abdullah melanjutkan, kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan masyarakat yang tidak punya dukungan penguasa dan pengusaha segera diproses dan dipenjarakan. Sementara itu, pejabat atau masyarakat yang mendapat dukungan penguasa dan pengusaha akan dibiarkan merajalela.
"Hal tersebut dapat dilihat dari penanganan kasus besar seperti BLBI, reklamasi, KTP elektronik, Meikarta, BPJS, ASABRI, Jiwasraya, dan lainnya dibiarkan saja," katanya.
Abdullah menjelaskan, nilai dasar KPK meliputi religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan. Ia pun menceritakan, terpilihnya religiusitas menjadi nilai dasar KPK lahir dari hasil diskusi sekitar 100 pegawai dan lima pimpinan KPK periode 2005.
"Dasar filosofinya sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Di KPK jilid I dan II, nilai dasar KPK adalah integritas, profesional, produktivitas, transparan, kepemimpinan, dan religiusitas," kata Abdullah.
Menurut Abdullah, kalau religiusitas berada di urutan keenam, tidak berarti masalah religiusitas merupakan pilihan terakhir. Namun, nilai satu sampai dengan lima harus bernapaskan religi sesuai dengan sila pertama Pancasila yang merupakan kausa prima terhadap empat sila lainnya.
"Dalam kepemimpinan KPK edisi ketiga, nilai religiusitas dinaikkan ke urutan pertama untuk memastikan bahwa nilai-nilai kepribadian KPK itu seperti Pancasila di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya menambahkan.
Bahkan, dia melanjutkan, aplikasinya, syarat menjadi pegawai KPK adalah integritas dan profesional. Seorang diterima menjadi pegawai KPK jika nilai integritasnya minimal empat dari rentang satu sampai dengan lima.
Ketika perekrutan pegawai, pimpinan khususnya Biro SDM tidak memerhatikan persyaratan integritas tersebut, akan mengalami masalah, baik berkaitan kinerja lembaga maupun perilaku pimpinan dan pegawai.
"Dugaan saya, masalah yang terjadi di internal KPK sekarang disebabkan pengabaian terhadap nilai-nilai integritas, baik dalam rekrutmen pegawai, pejabat, maupun pimpinan KPK," ujar Abdullah.
KPK telah mengklarifikasi soal penghapusan nilai religiusitas tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, nilai religiusitas tersebut KPK cantumkan di dalam mukadimah kode etik dan pedoman perilaku KPK.
Menurut KPK, religiusitas merupakan pelaksanaan keyakinan beragama atau nilai-nilai spiritualitas yang diyakini kebenarannya berdasarkan agama dan kepercayaan masin-masing.
"KPK memandang religiusitas merupakan nilai tertinggi yang memayungi seluruh nilai dasar yang ada dalam kode etik saat ini meliputi integritas, keadilan, profesionalisme, kepemimpinan, dan sinergi," kata Ali saat dikonfirmasi, Senin (9/3).
Sebelumnya, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan mengatakan, substansi kode etik saat ini tak banyak berubah dengan sebelumnya. Namun, ada salah satu nilai dasar baru, yakni sinergisitas. Penambahan nilai itu, kata Tumpak, merupakan representasi dari regulasi KPK hasil revisi.
"Undang-undang baru itu dijelaskan bahwa KPK harus melakukan kerja sama yang baik, bersinergi, koordinasi, dan supervisi secara baik," ujar Tumpak.