Honggo Belum Ditemukan, Bareskrim: Tunggu Hasil Sidang
Bareskrim akan kembali mencari Honggo setelah putusan sidang keluar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Daniel Tahi Monang Silitonga mengaku akan melakukan pencarian kembali Dirut PT TPPI, Honggo Wendratno jika sudah ada hasil keputusan sidang tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Persidangn terkait kasus penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas, Kementerian ESDM dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI).
"Kan saat ini sedang dilakukan persidangan. Kami tunggu hasilnya persidangan ya. Kalau sudah ada keputusan baru kami melakukan pencarian lagi," katanya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (12/3).
Terkait kedutaan Singapura yang mengaku kalau Honggo tidak ada di negaranya. Daniel hanya bisa menyebut setiap negara memiliki hak untuk berpendapat. "Ya itu kan haknya setiap negara. Kan memang perlintasan terakhir Honggo ada di Singapura," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara tahap dua berupa barang bukti dan tersangka kasus kondensat ke Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2020. Pengadilan Tindak Pidana Tipikor Jakarta telah menggelar persidangan in absentia tanpa kehadiran Honggo Wendratno yang saat ini masih buron.
Sidang perdana itu digelar pada Senin (10/2) dihadiri oleh dua terdakwa lainnya, yakni mantan Kepala BP Migas Raden Priyono serta mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono.
Sejak Mei 2015, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yang kemudian ditetapkan terdakwa, dalam kasus korupsi kondensat ini. Mereka adalah Raden Priyono, Djoko Harsono, dan Honggo Wendratno.
Raden Priyono dan Djoko Harsono sudah diamankan. Sementara Honggo Wendratno belum ditahan dan terakhir kali diketahui menjalani perawatan kesehatan pascaoperasi jantung di Singapura.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka adalah Tindak Pidana Korupsi Pengolahan Kondensat Bagian Negara. Mereka dinilai melawan humum karena pengolahan itu tanpa dilengkapi kontrak kerja sama, mengambil dan mengolah serta menjual kondensat bagian negara yang merugikan keuangan negara.
Berdasarkan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan RI, negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dollar AS atau jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 35 triliun dalam kasus ini.