Indef: Paket Stimulus Butuh Kebijakan Moneter Tambahan
Kebijakan moneter tambahan seperti menurunkan kembali suku bunga acuan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, Bank Indonesia sebaiknya kembali melakukan kebijakan moneter yang bersifat melonggarkan (ease monetary policy). Kebijakan ini untuk melengkapi stimulus fiskal dan non fiskal kedua dari pemerintah yang akan berlaku 1 April.
Andry mengatakan, stimulus yang ditujukan untuk sektor manufaktur ini sudah cukup membantu industri dalam menurunkan biaya produksi dan investasi serta menjaga daya beli. "Tapi, ada beberapa hal yang belum cukup," katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (15/3).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menurunkan kembali suku bunga acuan bank sentral. Sebab, Andry menjelaskan, semakin rendah biaya untuk meminjam (kredit), akan semakin rendah pula biaya dalam melakukan investasi.
Di sisi lain, Andry menambahkan, pemerintah juga harus membantu menjaga pasokan bahan kebutuhan pokok sehingga berimplikasi pada harga yang stabil. Apabila pasokan kebutuhan dalam negeri berkurang akibat pasokan dari Cina terhambat, maka pemerintah perlu mencarikan importir alternatif. "Setidaknya sampai menjelang Lebaran," tuturnya.
Berbagai kebijakan turut diiringi dengan percepatan penurunan harga BBM. Andry mengatakan, arahan ini guna menjaga daya beli masyarakat tetap terjaga. Gairah pasar dalam negeri ini diharapkan mampu membantu memumbuhkan kepercayaan diri bagi industri untuk tetap berproduksi ataupun ekspansi.
Dampak berikutnya, Andry menuturkan, tingkat produksi dunia usaha bisa tumbuh. "Produktivitas bisa ditingkatkan ketika perusahaan berinvestasi atau menambah skala produksi," katanya.
Andry mengakui, virus corona yang kini sudah ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) ini sudah menyebabkan disrupsi dari sisi supply dan demand. Tidak hanya di Indonesia, juga berskala global.
Dari sisi supply, ditandai dengan penutupan pabrik dan terganggunya supply dunia terhadap bahan baku, barang modal maupun hasil produksi. Kondisi tersebut terjadi karena Cina yang menjadi titik awal penyebaran virus merupakan pusat input produksi di dunia, termasuk bagi Indonesia.
Saat ini, China sudah masuk pada tahap recovery dari virus corona. Akan tetapi Andry menekankan, penyebaran di luar Cina tidak kalah mengkhawatirkan, sehingga disrupsi dari sisi suplai bagi Indonesia masih terus tertekan.
Apabila penyebaran belum terhenti dan masih terasa sampai kuartal kedua tahun ini, Andry menilai, akan ada gelombang pengangguran akibat layoff (Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK) karena pusat produksi akan tutup.
Sementara itu, dari sisi demand, dampak negatifnya ditandai dengan penurunan konsumsi. Masyarakat menahan diri belanja untuk mengantisipasi jangka panjang. Apalagi, Andry mengatakan, potensi PHK sangat lebar atau minimal, terjadi penurunan pendapatan. Artinya, ke depan akan ada penurunan daya beli masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 22,9 triliun agar ekonomi Indonesia tetap kuat dalam menghadapi dampak penyebaran virus corona. Salah satu stimulus tersebut adalah pemerintah menanggung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk karyawan industri manufaktur selama enam bulan per April.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan menanggung 100 persen PPh 21 terhadap penghasilan pekerja yang memiliki pendapatan sampai Rp 200 juta per tahun. "Baik itu mereka yang biasa dibayar oleh perusahaan atau bagian dari gross income atau masyarakat sendiri yang bayar, kini ditanggung pemerintah 100 persen," katanya dalam konferensi pers Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3).