Derita dan Kepasrahan Pengungsi Suriah Menghadapi Corona
Pengungsi Suriah hidup dalam keadaan kumuh dan khawatir terjangkit virus corona
REPUBLIKA.CO.ID, SURIAH UTARA -- Kekhawatiran terkait virus corona atau covid-19 hinggap di hati warga Suriah yang mengungsi di sebuah kamp di Atmeh, Suriah Utara. Mereka khawatir pemerintahnya tidak berbuat cukup banyak untuk melindungi para pengungsi Suriah yang hidup dalam keadaan kumuh.
Dalam laporan Middle East Eye pada Jumat (20/3), disebutkan dengan terang betapa polosnya para pengungsi soal wabah virus corona ketika didatangi tim relawan yang dilengkapi pakaian pelindung dan masker. Ada satu pertanyaan yang disampaikan kepada relawan. "Apakah virus corona pada akhirnya akan menjangkiti kami?" tanya pengungsi.
Warga pengungsi tampak terheran-heran melihat penampilan dan apa yang dikerjakan tim relawan. Tim ini membawa jerigen penuh dengan semprotan anti-bakteri di punggungnya. Berjalan dari tenda ke tenda, relawan itu menyemprot cairan ke udara untuk mendisinfeksi permukaan yang bisa menjadi rumah bagi virus covid-19.
"Orang-orang ketakutan ketika tim sterilisasi muncul entah dari mana," kata Ibrahim Rahhal, ayah dari tujuh anak yang melarikan diri dari rumahnya karena perang di Suriah.
Meski begitu, para pengungsi juga khawatir virus corona akan menjangkiti kampnya. Ketakutan tersebut kian bertambah terutama setelah banyak negara mengambil langkah pencegahan. Spesialis kesehatan global di Universitas Cambridge, Adam Coutts, menuturkan para pengungsi baik di Suriah atau di tempat lain adalah kelompok yang sangat rentan tidak hanya pada covid-19, tetapi juga penyakit lain.
"WHO mengatakan semua negara harus bersiap untuk virus corona. Tetapi sedikit perhatiannya kepada populasi pengungsi yang tersebar di wilayah MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara dan Eropa," kata Coutts.
"Jauh lebih banyak orang meninggal di wilayah (Timur Tengah) karena kurangnya akses ke perawatan kesehatan berkualitas baik, yang menjadi pembunuh diam-diam yang jarang mendapat perhatian," tambah dia.
Di barat laut Suriah, hampir setengah juta orang telah mengungsi sejak Desember 2019. Mereka mengungsi ketika pasukan pemerintah pro-Suriah terus mengebom infrastruktur sipil. Banyak anggota keluarga yang tersebar di provinsi Idlib saat mereka terus berlari hanya dengan menggendong pakaian di punggung mereka, agar terhindar dari pengeboman rezim Presiden Bashar al-Assad.
Pengeboman itu telah menargetkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan tanpa pandang bulu di Idlib. Peristiwa itu melumpuhkan setiap kesempatan untuk melakukan penanganan darurat medis termasuk salah satunya pandemi virus corona.
Relawan dari Islamic Relief, Mohamed, mengakui kondisi di Idlib seakan sudah pasrah dengan penyebaran wabah virus corona. Tenda pengungsi di Idlib dirancang untuk menampung hanya lima orang, tetapi sebagian besar diisi hingga sepuluh orang. Keadaan ini tentu akan mempercepat tingkat penularan.
"Stok obat juga tidak cukup dan tidak ada ruang yang tepat untuk karantina atau merawat pasien Covid-19. Apalagi unit perawatan intensif sudah kurang dan kami telah melihat banyak pasien yang trauma datang ke rumah sakit. Kami yakin situasi wabah corona ini hanya akan menjadi beban dan dapat menjadi bencana besar," tutur Mohamed.
Islamic Relief menyatakan telah membagikan alkohol ke fasilitas kesehatan di Idlib. Organisasi ini juga mendistribusikan Ventolin yakni obat yang dapat digunakan untuk mengobati sesak napas dan untuk membantu mempersiapkan kemungkinan wabah. Tetapi kekhawatiran tetap melanda pengungsi Suriah.
Pemerintah Suriah memang belum secara resmi mengonfirmasi kasus infeksi Covid-19. Namun kelompok oposisi meragukannya dan mendorong pemblokiran daerah pemberontak yang dekat dengan wilayah yang dikuasai pemerintah.
UNHCR menyatakan sedang memantau situasi pengungsi di Suriah dengan seksama. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pun mengatakan akan mengirim tim untuk menguji orang-orang terlantar di Idlib pekan depan.