Positif Corona Kian Masif, Pemerintah Diminta Lebih Tegas

Sudah saatnya pemerintah meningkatkan tensi ke yang lebih berat yakni sifatnya wajib.

ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Calon penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bojong Gede, Bogor, masih berjubel di tengah wabah Covid-19 (ilustrasi)
Rep: Ali Mansur Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imbauan work from home sepertinya tidak berjalan dengan baik. Hal ini setidaknya berimbas dari terus meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia. Hingga Rabu (25/3) sore WIB ada penambahan 103 pasien, dengan total ada 893 kasus Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan data pemerintah, di DKI Jakarta ada penambahan 53 pasien dalam 24 jam terakhir. Sedangkan, di Sulawesi Selatan jumlah kasusnya bertambah 14 pasien.

"Imbauan dari pemerintah untuk bekerja, belajar dan beribadah dari rumah tidak menjadi kewajiban bagi warga sehingga masih banyak yang beraktivitas d luar, tidak hanya pekerja dengan upah harian namun juga pekerja perkantoran dan pertokoan tetap masuk kerja sehingga imbauan WFH tidak berjalan maksimal," keluh anggota DPR Ahmad Baidowi

Baca Juga


saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (26/3)

Menurut Baidowi, angkutan umum seperti KRL, bus umum, angkot masih penuh sesak penumpang. Padahal, sarana umum tersebut merupakan favorit penyebaran covid-19. Termasuk SE Kapolri yang melarang warga berkumpul hanya efektif di daerah-daerah tertentu. Sementara di sejumlah daerah tetap menggelar kegiatan rutin seperti arisan, dan lain sebagainya.

"Mengingat pelaksanaan imbauan tersebut tidak maksimal, sudah saatnya pemerintah meningkatkan tensi ke yang lebih berat yakni sifatnya wajib dan bagi yang melanggar dikenai sanksi pidana/denda," tegas Baidowi.

Oleh karena itu, Baidowi menegaskan, penerapan UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan sudah mulai diterapkan, mengingat kondisi saat ini sudah sangat menprihatinkan. Penyebaran virus sangat masif, sementara interaksi sosial masih terjadi. "Maka pemerintah sudah bisa mempertimbangkan opsi karantina (lockdown) untuk kota-kota besar yang penyebaran covid-19 sangat sporadis khususnya DKI Jakarta," usul Baidowi.

Karantina secara ketat, lanjut Baidowi, bisa dilakukan per wilayah secara bertahap tidak perlu semua wilayah NKRI sekaligus sambil menunggu perkembangan. Pasal 49 ayat 3 UU 6/2018 menyebutkan, bahwa karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditetapkan oleh menteri. Maka menteri yang ditunjuk bisa mengambil kebijakan karantina.

"Jika pelaksanaan UU 6/2018 terkendala belum ada PP, itu hanya soal teknis yang mana bisa dikebut penyusunannaya. RUU Cipta Kerja yang menganut konsep Omnibus Law setebal lebih 1.000 halaman saja bisa disusun apalagi cuma PP," ungkapnya.

Selanjutnya, jika opsi karantina wilayah diambil, maka pemerintah pusat dan pemda harus bersinergi, tidak saling menyalahkan, dan mempersiapkan langkah secara matang, seperti ketersediaan bahan pangan bagi warga yang tidak boleh beraktivitas d luar. Tentu akan efektif bila dibarengi penegakan hukum yang ketat. Keselamatan manusia harus diutamakan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler