Fatwa Muhammadiyah Soal Sholat Tenaga Medis Covid-19
Muhammadiyah mengeluarkan fatwa sholat tenaga medis Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyempurnakan maklumat mengenai tuntunan ibadah bagi umat Muslim dalam menghadapi wabah Corona/Covid-19.
Adapun surat maklumat yang dimaksud bernomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang Wabah Covid-19 dan Nomor 03/I.0/B/2020 tentang Penyelenggaraan Sholat Jumat dan Fardu Berjamaah di saat Covid-19 melanda.
Dalam rangka melaksanakan hal itu, berdasarkan rilis yang diterima Republika, Kamis (26/3), Muhammadiyah menetapkan beberapa keputusan yang diambil dengan berpedoman kepada beberapa nilai dasar ajaran Islam dan beberapa prinsip yang diturunkan dari padanya.
Dengan mempertimbangkan dalil-dalil dari Alquran dan hadits yang dipahami sesuai dengan manhaj tarjih serta data-data ilmiah dari para ahli yang menunjukkan bahwa kondisi ini telah sampai pada status darurat, maka rapat bersama di lingkup Muhammadiyah menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut:
Pertama, wabah Covid-19 adalah salah satu musibah yang merupakan ujian dari Allah atas dasar sifat Rahman dan Rahim Allah. Sehingga umat Islam harus menghadapinya dengan sabar, tawakal, dan ikhtiar.
Kedua, pasien Covid-19 meninggal dunia yang sebelumnya telah berikhtiar dengan penuh keimanan untuk mencegah dan atau mengobatinya, maka mendapat pahala seperti pahala orang mati syahid.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW ketika suatu hari pernah ada wabah penyakit yang menular dan mematikan (al-tha’un) terjadi. Korban wabah penyakit yang bertawakal dan berbaik sangka kepada Allah akan mendapatkan pahala syahid.
Ketiga, usaha aktif mencegah penularan Covid-19 merupakan bentuk ibadah yang bernilai jihad, dan sebaliknya tindakan sengaja yang membawa pada risiko penularan merupakan tindakan buruk atau zalim.
Keempat, upaya pengobatan sebagai bentuk ikhtiar wajib dilakukan. Oleh sebab itu, para ahli termasuk dalam hal ini pemerintah wajib menyelenggarakan upaya tersebut sekaligus menyediakan segala keperluan yang berkaitan dengannya.
Kelima, Dalam rangka menghindari dampak buruk berkembangnya Covid-19 harus diperhatikan berbagai petunjuk dan protokol yang telah ditentukan pihak berwenang. Termasuk melakukan perenggangan sosial (social distancing) maupun upaya berdiam diri dan melakukan aktivitas di rumah sebagai tindakan preventif, dengan tetap memperhatikan produktivitas kerja.
Keenam, sholat lima waktu merupakan kewajiban agama yang harus dikerjakan dalam segala kondisi. Termasuk di saat kegiatan aktivitas ibadah di masjid ditiadakan atau ditutup untuk sementara.
Ketujuh, dalam kondisi tersebarnya Covid-19 seperti sekarang dan yang mengharuskan adanya social distancing, maka sholat lima waktu dapat dilaksanakan di rumah masing-masing.
Sehingga tidak tidak perlu dilaksanakan ibadah berjamaah di masjid, musala, dan sejenisnya yang melibatkan konsentrasi banyak orang guna terhindar dari mudarat penularan Covid-19.
Kedelapan, adapun orang yang karena profesinya dituntut untuk berada di luar rumah, maka pelaksanaan sholatnya tetap memperhatikan jarak aman dan kebersihan sesuai dengan protokol kesehatan.
Hal ini karena sholat wajib dilaksanakan dalam setiap keadaan sebagaimana ditegaskan di poin keenam. Sehingga di samping harus menghindari sumber-sumber kemudharatan seperti diingatkan dalam hadis yang telah dikutip di atas yang menyatakan bahwa: “Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan.”
Kesembilan, apabila keadaan amat menuntut karena tugasnya yang mengharuskan bekerja terus-menerus memberikan layanan medis yang sangat mendesak, petugas kesehatan dapat menjamak sholatnya (tetapi tidak mengqasar apabila tidak musafir).
Kesepuluh, sholat Jumat diganti dengan sholat Zhuhur (empat rakaat) di rumah masing-masing. Kesebelas, adzan sebagai penanda masuknya waktu sholat tetap dikumandangkan pada setiap awal waktu sholat wajib dengan mengganti kalimat “ḥayya ‘alaṣ-ṣalah” dengan “ṣallū fī riḥālikum” atau lainnya sesuai dengan tuntunan syariat.