Kasus Jamaah Haji Indonesia Gagal Berangkat Pernah Terjadi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus jamaah haji gagal berangkat pernah mewarnai perjalanan haji di Nusantara. Kasus pernah terjadi pada masa kerajaan Nusantara hingga di era reformasi.
Dikutip dari buku Haji dari Masa ke Masa terbitan Kementerian Agama, disebutkan jamaah haji gagal berangkat yang pertama kali tercatat sejarah terjadi pada masa Sultan Mansur Shah yang memerintah tahun 1456-1477 M dan Sultan Alauddin Riayat Shah pada 1477-1488 M di Aceh. Kedua raja ini gagal menunaikan ibadah haji karena menunggu kapal yang tak kunjung tiba.
Kemudian, pada masa Orde Lama, perhajian yang sepenuhnya dilaksanakan oleh swasta juga mencatat hal yang sama. Kecuali, pada masa akhir kekuasaan Bung Karno.
Tercatat, ada beberapa kegagalan pemberangkatan jamaah haji. Antara lain, penyelenggaraan yang dilakukan Yayasan Dana Bantuan dan Tabungan Haji Indonesia (YDBTHI) sekitar tahun 1967. YDBTHI gagal memberangkatkan jamaah hajinya karena sistem yang dilakukan tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan yayasan. Sistem tabungan haji yang dilakukan YDBTHI adalah menghimpun dana, lalu mengundi sejumlah jamaah yang akan diberangkatkan.
Kemudian, kegagalan juga terjadi pada yayasan Al-Ikhlas. Yayasan ini tidak berhasil memberangkatkan ratusan jamaah haji karena tidak berkoordinasi dengan pihak pelayaran ada tahun 1966.
Kemudian, Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Muallim) tahun 1970. Sekitar 1.000 jamaah haji yang dikelola yayasan yang berpusat di Semarang, Jawa Tengah ini gagal diberangkatkan.
Ya Muallim pimpinan H.Hadi Suyanto berhasil menarik ribuan jamaah haji (sebagian warga NU) karena memanfaatkan pengaruh ulama-ulama besar Indonesia saat itu. Sebagian jamaah haji yang seharusnya berangkat waktu itu ternyata belum didaftarkan sebagai jamaah haji pada PT Arafat sebagai penyelenggara perjalanan haji melalui kapal laut.
Kala itu, Ya Muallim diangap menolong jamaah karena menyelenggarakan haji dengan cara menabung. Seseorang yang memilih berangkat lima tahun yang akan datang membayar haji jauh lebih murah dibanding jamaah yang berangkat lebih cepat.
Semakin pendek masa tunggu haji seseorang, semakin mahal biaya yang dikeluarkan. Namun, biaya tersebut tercatat masih di bawah tarif haji yang diselenggarakan pemerintah. Waktu itu, diberitakan Ya Muallim telah membeli kapal laut sendiri. Namun, kemudian tidak terbukti setelah sekian miliar rupiah dana haji terkumpul.
Pada 1968, juga ada jamaah haji yang gagal berangkat ke Arab Saudi karena tidak ada kapal. Sehingga, mereka harus diberangkatkan tahun berikutnya. Kemudian, pemerintah mengambil alih pemberangkatan itu. Pada 1978, kegagalan terjadi pada jamaah haji yang telah mendaftar dan masuk dalam manifest keberangkatan PT Arafat. Namun, izin operasionalnya dicabut oleh Departemen Perhubungan.
Penerapan kuota haji diberlakukan pemerintah Arab Saudi sejak 1987 dengan alokasi 1:1000 bagi setiap negara dari penduduk muslim. Namun, hingga 1994 Indonesia belum bisa memenuhi kuota 180.000 jamaah.
Dalam Mudzkarah Haji 1994 diperkirakan kuota haji akan tercapai tahun 2000. Perkiraan tersebut ternyata meleset.
Pada 1995, jumlah jamaah haju telah melebih kuota sebanyak 180.000 jamaah. Sehingga, terdapat ribuan jamaah yang terpaksa tidak bisa berangkat dan waktu itu menjadi keresahan nasional. Itulah yang kemudian menghilhami dibangunnya Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat).
Hal serupa terjadi lagi pada 2004 ketika Pemerintah RI meminta tambahan kuota kepada Pemerintah Arab Saudi sebanyak 30 ribu jamaah. Sayangnya, pemerintah terlanjur mengumumkan dan mempersiapkan tambahan kuota tersebut. Padahal, Pemerintah Arab Saudi belum mengambulkan. Hal tersebut cukup menghebohkan, sehingga penyelenggaraan haji kala itu dikritik dan mendapat catatan dari masyarakat. Sebanyak 30 ribu jamaah haji tidak jadi berangkat dan diprioriytaskan pada tahun berikutnya.