Lockdown Diganggu Pengusaha Kebun Kopi di Wabah Pes 1911

Pes berasal dari kutu tikus yang menggigit manusia.

Tikus Liar (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Pada 20 April 1911 muncul tiga kasus demam di Kediri. Esok harinya, 21 April, muncul 13 kasus, lima di antaranya meninggal. Pada 22 April, pemerintah Hindia Belanda menyampaikan telegram mengenai kasus pes di Jawa ini ke Belanda. Pada 24 April muncul lagi sembilan kasus, tiga di antaranya meninggal.

Wabah pes bermula di Malang, Jawa Timur, yang kemudian merembet ke Kediri. Pes berasal dari kutu tikus yang menggigit manusia. Maka, perburuan tikus pun dilakukan. Di Malang, hingga 9 Mei 1911, telah ada 35.544 tikus yang dibunuh. Per 9 Mei itu juga, sebanyak 27 warga Malang tercatat meninggal akibat wabah pes ini.

Di Surabaya, tikus yang dibunuh selama 30 April sampai 6 Mei 22.716 ekor. Dari 10 April hingga 6 Mei, ada 115.274 ekor di Pasuruan yang dibunuh. Sepuluh warga Pasuruan telah meninggal akibat wabah pes ini.

Pemerintah mengarantina Malang dan daerah-daerah yang terkena wabah. Istilah sekarang disebut lockdown atau kuncitara, seperti yang dikenalkan dosen Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Kuncitara berasal dari kunci dan sementara, bisa pula dari kunci dan tara. Tara adalah kayu berpaku untuk membuat garis di kayu, seperti membuat batas. Lockdown memang penguncian sementara dilakukan untuk wilayah dengan batas administratif.

Barisan tentara diturunkan untuk menjaga pelaksanaan kuncitara di Malang saat itu. Namun pada Mei 1912, kuncitara dibuka atas permintaan pemilik perkebunan kopi. Permintaan itu diajukan karena jika dikuncitara terus, perkebunan tak akan mendapatkan tenaga pemetik kopi.

“Sebagai akibatnya, wabah meningkat lagi dalam waktu yang sangat singkat, menewaskan ribuan dan puluhan ribu orang Jawa,’’ ujar JC Ceton, ketua Partai Sosial Demokrat (Sociaal-Democratische Partij - SDP), di pertemuan publik di Plancius, Amsterdam, 31 Oktober 1913.

SDP menyampaikan manifesto pembunuhan pemerintah terhadap penduduk lewat wabah pes di Jawa. Ceton menegaskan pemerintah Belanda dan kapitalisme Belanda telah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Jawa.


Keberadaan kapitalis di Hindia Belanda yang sebatas mencari keuntungan dikritik habis terkait dengan intervensi kuncitara itu. Pada 1913 itu, SDP menuntut pemberlakuan lagi kuncitara agar wabah pes tidak terus meluas.

Kuncitara memang diakui berhasil menekan jumlah korban hingga April 1912 itu. Pencabutan kuncitara berdampak luar biasa. Wabah pes ini menyebar ke barat, ke Jawa Tengah dan sedikit di Jawa Barat dan berlangsung hingga 1926. Selama 1911-1926 itu, ada sekitar 120 ribu orang yang meninggal karenanya. Di Jawa Tengah saja ada 214 kecamatan di 67 kabupaten di enam karesidenan yang terkena wabah pes.

Arus pergerakan orang menurut dr Tjipto Mangoenkoesoemo memang tidak menularkan kuman, tetapi barang-barang yang dibawalah yang mempunyai potensi menularkannya. Menurut penelitian dr Swellengrebel, dari 56.790 orang yang berpindah, hanya ditemukan tiga kutu tikus. Tjipto menilai transportasi barang yang memperluas wabah pes.

Namun ia juga menilai langkah-langkah yang diambil untuk pencegahan wabah bertentangan dengan arti penting keberadaan kereta api di Hindia Belanda. Karantina lima hari setelah berpindah dari satu kota ke kota lain cukup merepotkan. Barang-barang baru bisa diangkut setelah disemprot disinfektan.

Dr Tjipto memang membuktikan kuncitara dengan penjagaan tentara memang mengurangi wabah pes di manusia, tetapi tidak mengurangi wabah pes di tikus. Tjipto bercerita tentang mantri kesehatan yang juga meninggal akibat pes. Ia menghabiskan hari-hari di rumah yang terkontaminasi kuman karena ada tikus mati di rumah itu.

Untuk menghentikan wabah ini tak hanya kuncitara yang dilakukan, melainkan juga perbaikan rumah agar wabah pes di tikus juga berhenti. Ketika rumah-rumah tak bisa dijadikan sarang tikus, maka kutu tikus akan kehabisan tikus. Kutu itu hanya bisa hidup di tikus. 

Jika tikus mati, kutu akan loncat ke tikus lain yang ada di dekatnya. Kuman penyebab pes berkembang biak di dalam perut kutu tikus. Setelah tikus habis, tak ada tempat lagi untuk kutu berkembang biak, sehingga tak akan ada lagi yang menggigit manusia.

Ada hampir sejuta rumah yang harus diperbaiki, agar rumah-rumah warga tak lagi menjadi sarang tikus. Dinding rumah dari anyaman bambu rangkap dua jelas menjadi sarang tikus. Demikian juga penyangga atap dari bambu, juga menjadi sarang tikus. Balai-balai dari bambu juga menjadi sarang tikus. Semua itu harus diganti.

Batang-batang bambu yang dijadikan bahan rumah dipastikan tidak bisa dimasuki tikus. Ujung-ujungnya ditutup dengan kayu. Dinding bambu yang dobel harus dibuat serapat mungkin sehingga tak ada celah untuk tikus. Demikian juga atap rumah yang terbuat dari ijuk juga diganti. Cara ini ditujukan untuk menjauhkan tikus dari manusia.

Namun, perbaikan rumah ini menuai tudingan. Desa lain terkena wabah karena kedatangan tikus dari desa yang rumah-rumahnya sudah diperbaiki. Pada akhir Januari 1926, Kepala Dinas Kesehatan Masyarakat (Dienst der Volksgezondheid) JJ van Lonkhuyzen membantah hal itu. Adanya wabah di desa lain tak bisa dijadikan bukti bahwa penularan terjadi karena dampak dari perbaikan rumah di desa yang terkena wabah sebelumnya.

Koran De Telegraaf mencatat, perbaikan rumah-rumah biasanya baru dilakukan setelah kondisi terburuk dari wabah pes itu. Saat itu, tikus-tikus sudah mati ketika ditemukan di rumah-rumah yang dibongkar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler