Einstein Hingga Hawking: Tuhan Tidak Sedang Bermain Dadu?
Situasi alam semesta sebagai hal yang serba tak mudah bagi Einstein.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada hari-hari riuh di tengah pandemi virus Corona yang berasal dari Wuhan Cina ini, ada yang jadi viral di media sosial. Tulisan itu berasal dari sesorang yang kurang lebihnya mengatakan adanya virus Corona menjadi bukti Tuhan tidak ada. Sebab, kalau pun ada dia terbukti tak menyangi manusia. Seharusnya kalau Tuhan ada maka virus itu tak ada.
Bukan hanya itu saja, sang penulis yang menjadi viral di medos juga mengatakan bukti Tuhan tak ada bercermina pada binatang yang menurutnya tak kenal Tuhan. Alhasil, persis sama dalam teori histori materialisme ala Karl Mark, Tuhan hanya merupakan ekpresi ketakutan manusia karena hidup di dunia itu harus menjumpai hal-hal yang besar di luar kemampuannya. Katanya, Tuhan baru muncul ketika manusia mulai hidup dalam fase awal di luar gua, yakni harus berburu dan meramu.
Menurut dia, maka kalau pun Tuhan pun ada, yang membuatnya itu tangan atau pikiran manusia. Dalam kata lebih sederhana, tuhan itu sebtas ekrepesi dasar seperti sosok seorang ayah dari seorang anak yang ditinggalkan pergi bapaknya. Makanya kehadirian ayahnya sangat dibutuhkan atau sangat diharap selalu hadir untuk membebaskan dirinya dari ketakutan ganasnya tantangan alam. Di situlah Tuhan menjadi ada dan dibutuhankan sebagai sarana pembebasan rasa ketakutan sekaligus pemberi perlindungan manusia.
Dan bagi anda yang gemar filsafat atau ilmu fisika moderen pasti pernah mengenal hal yang sejenis.Sikap yang sama pun menghinggapi mendiang ilmuan penemu teori 'Bing Bang', Stepehen Hawking dari Inggris. Bagi dunia moderen sat ini nama Hawking sudah disejajarkan dengan bapak Ilmu Fisikia moderen seperti Albert Enstien.
Hawking dalam buku yang ditulisnya beberapa tahun sebelum meninggal, menganggap Tuhan itu memang sebagai 'prima causa' alam semesta. Tapi peran dia dalam menciptakan alam semesta hanya sekali saja pada babak pertama saat alam semesta dia buat. Setelah itu, Tuhan kemudian tak berbuat apa-apa. Alam kemudia berevolusi sebagai mana kodratnya atau mengikuti hukum alam.
Bagi Hawking semua hal rasional. Bahkan terjadinya bencana sekalipun, itu juga sebagai konsekuensi hukum alam biasa. Tuhan hanya sekali berbuat di awal, setelah itu 'menganggur' dan membiarkan alam menjadi dirinya sendiri. Sikap ini tercermin ketika Hawking ketemu Paus Johens Paulus II di Vatikan. Kala itu Paus sempat meminta jangan terlalu rasional memikirkan penciptaan alam semesta. Dan di tegur seerti itu Hawking yang sudah duduk di kursi roda menjawab: Justru dirinya baru memulai berpikir soal penciptaan alam semesta.
Dan sama dengan semangat soal keberadaan Tuhan yang kini viral di media sosial, Hawking juga menganggap secara sangat rasional sebagai ekpresi ketakutan manusia di depan alam semesta belaka. Dia mencotohkan dengan hadirnya sosok tuhan yang hadir dalam budaya manusia (Soal pemikiran Hawking ini pernah di kritik oleh ilmuwan alias ‘ MR Crak’ yang sempat menjadi Presiden Indonesia, BJ Habibe. Dia mengatakan Hawking itu punya sikap yang sombong)
Memang dalam salah satu buku yang ditulisnya Hawkin mengkaitkannya dengan kepercayaan sebagian suku atau orang di dunia yang sempat menganggap matahari dan bulan sebagai Tuhan pencipta alam semesta. Tapi ini kemudian mereka tak percaya lagi sebab ternyata bulan dan matahari mengalamai gerhana. Mereka menganggapnya kedua benda langit itu bukan Tuhan karena punya masalah.
Dan kisah ini, terbuki dalam kazanah umat manusia --cerita rakyat di Afrika dan Asia -- yang dahulu selalu menganggap semesta akan terkena bencana karena ada gerhana bulan atau matahari. Soal ini ada dalam mitologi mereka tentang kepala raksasa yang tengah memakan dua benda itu. Maka manusia yang ada di bumi harus membuat keriuhan dengan menabuh dan ramai-ramai berteriak supaya kepala raksasa yang terbang ke langit itu melepaskan gigitannya. Di Jawa misalnya ada tradisi menabuh lesung kala terjadi gerhana bulan dan matahari.
***
Tapi berbeda dengan si penulis di media sosial atau Stephen Hawking, salah satu bapak Fisika moderen keturunan Yahudi Jerman, Albert Enstein mengatakan sebaliknya. Ketika dia desak mengenai tujuan Tuhan mencipta dan selalu ikut memelihara segala hal yang terhjadi di alam semesta, Enstein hanya menjawab kalem: Yang pasti Tuhan tidak sedang bermain dadu.
Terkait kisah ini ada tulisan yang asyik dari Jimm Baggot. Dia adalah penulis sains populer yang memenangkan berbagai penghargaan dan lebih dari 25 tahun menulis tentang topik dalam sains, filsafat dan sejarah, di Inggris. Kisahnya begini terkait soal Kisah Enstein dan pernnyataannya bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan alam semesta: Artikelnya berjudul: 'What Enstein meant by ‘God does not play dice’ (Apa yang dimaksud Enstein dengan 'Tuhan tidak bermain dadu?)
Tulisan lengkapnya begini:
"Teori ini (Tuhan Tidak Sedang Bermain Dadu, red) menghasilkan banyak hal tetapi hampir tidak membawa kita lebih dekat ke rahasia Yang Lama," tulis Albert Einstein pada bulan Desember 1926. "Saya memang pada semua peristiwa yakin bahwa Dia (Tuhan) tidak bermain dadu."
Kalimat Einstein ini keluar ketika dia menanggapi surat dari fisikawan Jerman Max Born. Ini karena, layaknya jantung, teori baru mekanika kuantum, menurut Born, berdetak secara acak dan tidak pasti, seolah-olah menderita aritmia. Sedangkan fisika sebelum kuantum selalu tentang melakukan ini dan mendapatkan itu, mekanika kuantum baru tampak mengatakan bahwa ketika kita melakukan ini, kita mendapatkannya hanya dengan probabilitas tertentu. Dan dalam beberapa keadaan, lanjut Born, kita mungkin mendapatkan yang lain.
Einstein sama sekali tidak menanggapi atau menjawab desakan Born ketika bertanya dasar pemikiran bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan semesta. Teori ini dibiarkan terus bergema selama beberapa dekade. Bahkan meski dianggap sebutan akrab dalam dunia kosmologi, namun pernyataan Einstein sama sulitnya artinya dengan dengan teori: E = mc2.
- Keterangan Foto: Albert Einstein and Nils Bohr berjalan bersama menuju konprensi Solway pada 1920 di Brussels, Belgua. Photo courtesy Wikipedia
Namun untuk memahami sikap Enstein itu, semua perlu tahu bila kedua orang tuanya, yakni Hermann dan Pauline Einstein adalah orang Yahudi Ashkenazi yang tidak patuh. Terlepas dari sekularisme orang tuanya, Albert yang berusia sembilan tahun menemukan dan memeluk Yudaisme dengan penuh semangat, dan untuk sementara waktu ia adalah seorang Yahudi yang patuh dan patuh.
Maka, mengikuti kebiasaan Yahudi, orang tuanya sellau akan mengundang sarjana miskin untuk berbagi makanan dengan mereka setiap minggu. Dan dari mahasiswa kedokteran miskin bernama Max Talmud (kemudian Talmey), Einstein muda kala itu menjadi tertarik belajar tentang matematika dan sains secara mudah.
Enstein misalnya, mengkonsumsi semua atau 21 volume Buku Populer yang Menyenangkan tentang Ilmu Pengetahuan Alam karya Aaron Bernstein yang terbit pada tahun 1880. Talmud kemudian mengarahkannya ke arah buku Critique of Pure Reason Immanuel Kant (1781). Dari sana kemudian ia bermigrasi ke buku filosofinya David Hume. Dari Hume, itu bagi Enstein terjejak sebagai langkah awal yang relatif singkat untuk masuk ke pemikiran fisikawan Austria Ernst Mach, yang filosofi empiris, penglihatan-melihat-percaya menuntut penolakan penuh terhadap metafisika, termasuk gagasan tentang ruang dan waktu absolut, dan keberadaan atom.
Tetapi perjalanan intelektual ini tanpa ampun telah mengungkap konflik antara sains dan tulisan suci. Einstein kala itu baru berusia 12 tahun memberontak. Dia mengembangkan keengganan yang mendalam terhadap dogma agama yang terorganisir -- di mana ini akan bertahan seumur hidupnya, keengganan Enstein juga meluas ke semua bentuk otoritarianisme, termasuk segala jenis ateisme dogmatis.
Adanya asupan atau pola makan pemikiran semenjak muda dari filosofi empiris ternyata akan melayani Einstein dengan baik sekitar 14 tahun kemudian. Penolakan Mach terhadap ruang dan waktu absolut membantu membentuk teori relativitas khusus Einstein (termasuk persamaan ikon E = mc2), yang ia rumuskan pada tahun 1905 ketika bekerja sebagai 'pakar teknis, kelas ketiga' di Kantor Paten Swiss di Bern.
Bahkan, setelah itu sepuluh tahun kemudian, Einstein akan menyelesaikan transformasi pemahaman kita tentang ruang dan waktu dengan perumusan teori relativitas umumnya, di mana gaya gravitasi digantikan oleh ruangwaktu melengkung.
Tetapi seiring bertambahnya usia (dan lebih bijak), ia datang untuk menolak empirisme agresif Mach. Dan suatu kali menyatakan bahwa teori 'Mach itu sama baiknya dalam mekanika seperti ia celaka pada filsafat.'
*****
Seiring waktu, Einstein lalu mengembangkan posisi yang jauh lebih realistis. Dia lebih suka menerima isi teori ilmiah secara realistis, sebagai representasi 'benar' dari realitas fisik objektif. Dan, meskipun ia tidak menginginkan bagian dari agama, kepercayaan pada Tuhan yang telah dibawanya bersamanya sejak rayuan singkatnya dengan Yudaisme, ternyata menjadi fondasi di mana ia membangun filosofinya.
Ini tercermin, ketika Einstein ditanya tentang dasar sikap realistisnya. Dia menjelaskan begini: 'Saya tidak memiliki ekspresi yang lebih baik daripada istilah "religius" untuk kepercayaan ini pada karakter realitas yang rasional dan dalam hal aksesibilitas, setidaknya sampai batas tertentu, ke akal manusia. '
Tetapi Einstein adalah Dewa filsafat, bukan agama. Ketika ditanya bertahun-tahun kemudian apakah dia percaya pada Tuhan, dia menjawab: 'Saya percaya pada Tuhan Spinoza, yang mengungkapkan dirinya dalam keharmonisan yang sah dari semua yang ada, tetapi tidak pada Tuhan yang peduli pada nasib dan perbuatan umat manusia.
Hal itu rupanya dia terengarh 'Baruch Spinoza, seorang ilmuwan kontemporer dari Isaac Newton dan Gottfried Leibniz, Mereka memamng menganggap Tuhan sebagai identik dengan alam. Untuk ini, sebagai konsekuensi keduanya sempat dianggap sebagai pelaku bid’ah yang berbahaya. Dia pun dikucilkan dari komunitas Yahudi di Amsterdam.
Tuhan bagi Einstein jauh lebih unggul tetapi impersonal dan tidak berwujud, halus tetapi tidak berbahaya. Dia juga sangat determinis. Sejauh ini Einstein pun tampak merasa prihatin adanya 'keharmonisan sah Tuhan' yang dibangun di seluruh kosmos dengan kepatuhan ketat pada prinsip-prinsip fisik dengan hukum sebab dan akibat.
Dengan demikian, tidak ada ruang dalam filosofi Einstein untuk kehendak bebas: “Segala sesuatu ditentukan, awal dan juga akhir, oleh kekuatan-kekuatan yang tidak dapat kita kendalikan ... (ibaratnya, red) kita semua menari dengan irama yang misterius, dilantunkan di kejauhan oleh pemain yang tak terlihat .”
Teori relativitas khusus dan umum memberikan cara baru yang radikal untuk memahami ruang dan waktu dan interaksi aktif mereka dengan materi dan energi. Teori-teori ini sepenuhnya konsisten dengan 'keharmonisan sah' yang ditetapkan oleh Tuhan dalam benaknya Einstein.
Tetapi teori baru mekanika kuantum, yang juga Einstein baru temukan pada 1905, menceritakan kisah yang berbeda. Mekanika kuantum adalah tentang interaksi yang melibatkan materi dan radiasi, pada skala atom dan molekul, diatur dengan latar belakang ruang dan waktu yang pasif.
Soal ini terkait pada sutuasi yang terjadi sebelumnya pada tahun 1926. Ada fisikawan Austria Erwin Schrödinger yang telah secara radikal mengubah teori dengan merumuskan teori Mekanika Kuantum dalam hal 'fungsi gelombang' yang agak kabur. Schrödinger sendiri lebih suka menafsirkan ini secara realistis, sebagai deskriptif 'gelombang materi'. Tetapi konsensus tumbuh, dipromosikan dengan kuat oleh fisikawan Denmark Niels Bohr dan fisikawan Jerman Werner Heisenberg, bahwa representasi kuantum baru tidak boleh dianggap terlalu harfiah.
Intinya, Bohr dan Heisenberg berpendapat bahwa sains pada akhirnya mengejar masalah konseptual yang terlibat dalam deskripsi realitas yang telah diperingatkan sebelumnya oleh para filsuf selama berabad-abad.
Bohr misalnya mengatakan: ‘Tidak ada dunia kuantum. Hanya ada deskripsi fisik kuantum abstrak. Adalah salah untuk berpikir bahwa tugas fisika adalah untuk mengetahui bagaimana alam itu. Fisika menyangkut apa yang bisa kita katakan tentang alam. "
Pernyataan positivis yang samar-samar ini juga digemakan oleh Heisenberg. Katanya:” Kita harus ingat bahwa apa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri, tetapi alam yang terbuka pada metode pertanyaan kita. Interpretasi dari ilmuwan dari Copenhagen '-- menyangkal bahwa fungsi gelombang mewakili keadaan fisik nyata dari sistem kuantum -- dengan cepat menjadi cara berpikir dominan tentang mekanika kuantum.
Dan itu kemudian memunculkan variasi teori yang lebih baru dari interpretasi antirealis yang menunjukkan bahwa fungsi gelombang hanyalah cara 'mengkode' pengalaman kita, atau keyakinan subyektif kita yang berasal dari pengalaman kita tentang fisika. Selain itu memungkinkan kita untuk menggunakan apa yang telah kita pelajari di masa lalu untuk memprediksi masa depan.
Alhasil, karena teori ini sama sekali tidak konsisten dengan filosofi yang dipercaya Einstein, maka kemudian Einstein tidak bisa menerima interpretasi tersebut karena dia tetap percaya bahwa objek utama representasi - fungsi gelombang - bukan 'nyata'. Dia tidak bisa menerima bahwa Tuhannya akan memungkinkan 'keharmonisan sah' terurai sepenuhnya pada skala atom, membawa ketidakpastian dan ketidakpastian hukum, dengan efek yang tidak dapat sepenuhnya dan jelas diprediksi dari penyebabnya.
Dengan demikian panggung debat mengenai kontroveri ini malah kemudian ditetapkan untuk salah satu perdebatan paling luar biasa dalam seluruh sejarah sains, terutama ketika Bohr dan Einstein berhadapan langsung dengan interpretasi mekanika kuantum.
Maka dititk itu adalah benturan dua filosofi, dua set prakonsepsi metafisik yang saling bertentangan tentang sifat realitas dan apa yang dapat kita harapkan dari representasi ilmiah ini. Perdebatan di mulai pada tahun 1927, dan meskipun protagonis tidak lagi bersama kita, perdebatan terasa masih sangat hidup dan belum terselesaikan sampai kini.
Akhirnya, saya kemudian tidak berpikir bila Einstein akan sangat terkejut dengan ini. Pada bulan Februari 1954, hanya 14 bulan sebelum dia meninggal, dia menulis dalam sepucuk surat kepada fisikawan Amerika David Bohm. Kata Enstein dalam surat itu demikian: "Jika Tuhan menciptakan dunia, perhatian utamanya tentu saja tidak membuat pemahamannya mudah bagi kita."