Abuya Muda Waly, Ulama Aceh Pendukung Persatuan NKRI
Abuya Muda Waly mendukung keutuhan NKRI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aceh termasuk daerah di Nusantara yang cukup tangguh dalam menghalau kolonialisme Belanda. Namun, Aceh yang terus digempur Belanda sejak 1873 akhirnya menyerah pada 1914.
Selama berpuluh-puluh tahun kemudian, rakyat dan pemimpin serta ulama setempat bahu-membahu melawan penjajahan. Pada 1942, Belanda tunggang-langgang meninggalkan Nusantara. Sebab, balatentara Jepang datang menyerbu. Pasukan dari Negeri Matahari Terbit itu menduduki seluruh wilayah negeri, termasuk Bumi Serambi Makkah.
Pemerintah pendudukan Jepang mulanya datang dengan janji kemerdekaan Indonesia. Namun, belang mereka terkuak. Itu hanya modus agar rakyat Indonesia mendukung Dai Nippon dalam kancah Perang Dunia II. Toh Jepang tak berhenti melancarkan aksinya untuk menggalang dukungan. Berbagai lapisan masyarakat didekatinya, termasuk kalangan ulama.
Di Aceh, Abuya Muda Waly bersama dengan seluruh mubaligh setempat terus menggelorakan semangat melawan penjajahan. Baginya, perjuangan ini adalah jihad fii sabilillah. Waktu itu, kaum ulama Aceh ada yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), tetapi ada pula yang di luarnya. Abuya Muda Waly termasuk yang memilih jalan non-PUSA. Sebab, organisasi itu memang marak diisi golongan tua.
Jepang akhirnya kalah perang. Pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia diproklamasikan di Jakarta. Berbagai gerakan dilancarkan rakyat dan para tokoh untuk mendukung keutuhan negara yang baru seumur jagung ini. Bertahun-tahun berjuang, akhirnya pada 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Menolak pemberontakan
Namun, perjuangan nyatanya belum usai. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, mulai muncul bibit-bibit perpecahan. Tak sedikit tokoh daerah yang memaklumkan perlawanan terhadap Jakarta. Di antaranya adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Imbas gerakan ini juga terasa di Aceh.
Di Tanah Rencong, banyak ulama yang tegas menolak pemberontakan. Bagi mereka, persatuan Indonesia mesti terus dipertahankan. Adapun soal-soal mengenai ketidakpuasan daerah, memang mesti diselesaikan dengan cara yang arif dan bijaksana oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, ketidakpuasan daerah tak boleh jadi alasan untuk menyulut separatisme. Abuya Muda Waly termasuk dalam kelompok ulama yang menolak DI/TII dan berbagai upaya pemberontakan lainnya.
Selain dirinya, ada pula nama-nama alim lain, semisal Teungku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdussalam Meuraxa, dan Teungku Saleh Meusigit Raya.
Maka dari itu, tak mengherankan bila Abuya Muda Waly dikenang sebagai ulama yang nasionalis. Kesan ini diungkapkan antara lain oleh Prof Tengku Haji Ali Hasjmy. Sosok yang pernah menjadi gubernur Aceh ketujuh (1957-1964) itu mengatakan sebagai berikut, seperti dikutip dari buku Ayah Kami Abuya Syeikh Muhammad Waly Al-Khalidy: Bapak Pendidikan Aceh.
“Saya tertarik dengan pribadi Teungku Muhammad Waly al-Khalidy karena dalam beberapa hal kami mempunyai kesamaan, misalnya masalah Republik. Kami sama-sama mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti kami sama-sama nasionalis sejati.”
Pada 20 Maret 1961, rakyat Aceh berduka. Bertepatan dengan tanggal 11 Syawal 1381 Hijriah, Abuya Muda Waly berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di Dayah Darussalam.