Pasar Sumber Penularan Corona di Wuhan Kembali Dibuka
China diminta membuat larangan pasar satwa liar permanen untuk cegah wabah muncul.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kota Wuhan, China, mulai bergeliat kembali. Setelah menjalani karantina wilayah (lockdown) selama hampir tiga bulan, warga memberanikan diri melakukan aktivitas seperti sebelum wabah Covid-19 melanda.
Pedagang ikan dan sayur-sayuran di pasar basah di pusat kota Wuhan mulai membuka kembali kios-kiosnya. Rantai penularan virus corona baru diyakini bermula di sana.
Pasar itu ditutup sejak Januari lalu. PBB telah menyerukan agar pasar basah yang menjual hewan atau satwa liar seperti di Wuhan dan daerah lain di China ditutup secara permanen. Negara-negara lain yang memiliki pasar sejenis pun diserukan melakukan hal serupa.
PBB menyebut hal itu perlu dilakukan guna mencegah munculnya kembali pandemi di masa mendatang. Namun Jin Qinzhi, salah satu pedagang sayur dan daging di pasar basah Wuhan kurang menyetujui seruan tersebut.
"Ini adalah virus dari orang ke orang, di mana pun Anda berada. Bahkan supermarket penuh dengan orang. Di sini orang lebih tersebar. Selama kita mengambil tindakan pencegahan dan kita memperhatikan disinfektan, itu akan baik-baik saja," kata Jin saat ditanya pendapatnya mengenai seruan penutupan pasar basah, Ahad (12/4).
Para pedagang di pasar basah Wuhan mengakui bisnisnya sangat terpukul akibat penutupan yang ketat. Terlebih Pemerintah China telah memerintahkan pelarangan sementara perdagangan serta konsumsi satwa liar.
"Kami tidak memiliki penghasilan dan bisnis. Jika terus seperti ini, akan sangat sulit bagi kita untuk bertahan hidup," kata Jin.
Pada Senin (6/4) lalu, Acting Executive Secretary of the United Nations Convention on Biological Diversity Elizabeth Maruma Mrema mengatakan negara-negara harus mencegah pandemi di masa depan dengan melarang “pasar basah” yang menjual hewan hidup dan mati untuk dikonsumsi manusia. Namun hal tersebut tentu memiliki konsekuensi.
“Akan baik untuk melarang pasar hewan hidup seperti yang telah dilakukan China dan beberapa negara. Tapi kita juga harus ingat bahwa Anda memiliki komunitas, terutama dari daerah pedesaan berpenghasilan rendah, khususnya di Afrika, yang bergantung pada hewan liar untuk mempertahankan mata pencaharian jutaan orang,” kata Mrema saat diwawancara the Guardian.
Dengan demikian, pelarangan pasar hewan liar dapat membuka kemungkinan perdagangan satwa secara ilegal. Beberapa spesies telah berada di ambang kepunahan akibat praktik tersebut.
Mrema berpendapat memang perlu ada solusi alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. “Kita perlu melihat bagaimana kita menyeimbangkan itu dan benar-benar menutup lubang perdagangan ilegal di masa depan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal China Biodeversity Conservation and Green Development Foundation Jinfeng Zhou meminta otoritas berwenang China membuat larangan pasar satwa liar permanen. Jika tidak dilakukan, wabah seperti Covid-19 berpotensi muncul kembali.
“Saya setuju bahwa harus ada larangan global terhadap pasar basah, yang akan banyak membantu konservasi satwa liar dan melindungi diri kita dari kontak yang salah dengan satwa liar. Lebih dari 70 persen penyakit manusia berasal dari satwa liar dan banyak spesies terancam punah dengan memakannya,” kata Jienfeng.
Maruma Mrema mengatakan melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang utuh akan membantu mengurangi prevalensi benerapa penyakit. “Jadi, cara kita bertani, cara kita menggunakan tanah, cara kita melindungi ekosistem pesisir, dan cara kita memperlakukan hutan kita akan merusak masa depan atau membantu kita hidup lebih lama,” ucapnya.
Dia mengingatkan, pada akhir 1990-an, virus Nipah merebak di Malaysia. “Diyakini bahwa virus itu adalah hasil dari kebakaran hutan, penggundulan hutan, dan kekeringan yang menyebabkan kelelawar buah, pembawa alami virus, pindah dari hutan ke dalam lahan gambut. Ia menginfeksi para petani, yang menginfeksi manusia lain dan yang menyebabkan penyebaran penyakit,” kata Mrema.
Hal itu menjadi penanda bahwa hilangnya keanekaragaman hayati menjadi pendorong besar dalam munculnya beberapa virus. “Deforestasi skala besar, degradasi dan fragmentasi habitat, intensifikasi pertanian, sistem pangan kita, perdagangan spesies dan tumbuhan, perubahan iklim antropogenik, semua ini adalah pendorong hilangnya keanekaragaman hayati dan juga pendorong penyakit baru. Dua pertiga dari infeksi dan penyakit yang muncul sekarang berasal dari satwa liar,” tutur Mrema.
Pada Februari lalu, delegasi dari lebih 140 negara bertemu di Roma, Italia, untuk merespons konsep rancangan 20 poin kesepakatan untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati. Proposal tentang melindungi sepertiga lautan dan daratan dunia serta mengurangi polusi dari limbah plastik turut dibahas.
KTT untuk menandatangani perjanjian tersebut dijadwalkan digelar di Kunming, China, pada Oktober mendatang. Namun penyelenggaraannya ditunda karena pandemi Covid-19.