Pengamat: Transportasi Harus Tunduk pada Peraturan PSBB
Pergub DKI tetap mengacu kepada Permenkes tentang PSBB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menilai sektor tranportasi harus tunduk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
“Termasuk pengendalian dalam penggunaan transportasi juga harus tunduk kepada Permenkes Nomor 9 Tahun 2020,” kata Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Senin (13/4).
Dia menambahkan meskipun dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang berhak menentukan PSBB adalah Kemenkes, namun peraturan itu mesti diikuti semua pihak.
Kemudian, terbitlah Peraturan Gubernur DKI No 33 tahun 2020 dan yang melarang ojek daring (online) mengangkut penumpang selain barang saat PSBB.
Selain itu terbit Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang mengizinkan ojol mengangkut penumpang.
“Ternyata penerbitan aturan ini memancing perdebatan karena berseberangan antara Pergub DKI dan Permenhub tersebut karena keduanya berbeda dalam menerjemahkan physical distancing selama PSBB,” katanya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pergub DKI tetap mengacu kepada Permenkes tentang PSBB karena yang mengizinkan Pemda dalam berlakukan PSBB adalah Kemenkes bukan Kemenhub.
“Untuk angkutan umum massa juga masih bermasalah. Sedih sekali pada Senin hari ini 13 April 2020 terjadi penumpukan kembali di beberapa stasiun semisal di Citayam dan Bogor, sama halnya terjadi seperti sebelumnya, boleh dikatakan physical distancing gagal lagi karena terjadi antrean panjang di stasiun, sampai pada akhirnya PT KCI menambah perjalanan KRL, tambahan lagi untuk mengangkut penumpang yang tidak terangkut,” katanya.
Dia menilai kekeliruan yang sama dilakukan lagi karena menumpuknya penumpang stasiun pembatasan perjalanan tanpa data jam sibuk (peak-hour) dan data asal-tujuan penumpang.
Ternyata, lanjut Deddy, ketika PSBB diberlakukan di Jakarta Senin ini, masyarakat yang masih bekerja juga masih banyak, sehingga pembatasan waktu perjalanan pada pukul 6.00 WIB malah menumpuk, karena jam KRL normal sebelumnya dimulai pukul 4.00 WIB, akibatnya semua berduyun-duyun di stasiun pukul 6.00 dan aturan PSBB angkutan umum massal diizinkan mengangkut 50 persen tingkat keterisian (load factor) dari total kapasitas normal.
Dalam PSBB memang aturannya 50 persen maksimum untuk keterisian normal angkutan massal, konfigurasi duduk dan berdiripun juga diatur berjarak, semua wajib menggunakan masker.
“Kekeliruan ini kembali terjadi karena yang dikurangi jam perjalanannya, bukan dikurangi penggunanya. Yang tepat adalah mengurangi jumlah penumpangnya bukan jam perjalanannya yang dikurangi. Apalagi bila PSBB hanya diizinkan mengangkut maksimal 50 persen penumpang, konsekuensi logisnya jumlah perjalanan keretanya harus dua kali lebih banyak, bukan malah dikurangi jam perjalanannya,” kata Deddy.