Soal Pembebasan Napi, Ini Pendapat Kriminolog
Keputusan pembebasan napi ini menjadi polemik di masyarakat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan dan membebaskan 36.554 narapidana dan anak di seluruh Indonesia melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Covid-19.
Keputusan tersebut menjadi polemik di masyarakat, muncul berbagai informasi terjadinya berbagai tindak kriminal dan ancaman di tengah masyarakat yang menjadi akibat diterapkannya peraturan ini
Kriminolog Leopold Sudaryono menyatakan fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Leopold memaparkan data selama tahun 2020 angka kejahatan residivis adalah 0.05 persen di mana angka ini justru turun dari tahun sebelumnya.
“Kalau bicara ancaman di masyarakat, angka ini kecil sekali. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan (residivis) itu tinggi dan kondisinya di Indonesia masih sesuai dengan kondisi global,” terangnya di Jakarta, Selasa (14/4)
Menurutnya, wacana yang berkembang di tengah masyarakat melalui pesan berantai di berbagai media komunikasi tidak merefleksikan data yang ada. Hal tersebut diamini Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nugroho, menurutnya kecemasan masyarakat karena masih banyaknya hoax atau kabar bohong yang beredar tentang banyaknya mantan narapidana, yang membuat ulah setelah dibebaskan di tengah pandemi Covid-19 ini.
“Sampai kini baru 12 narapidana yang berulah dari sekitar 36.554 yang sudah dibebaskan,” kata Nugroho.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar hukum Bivitri Susanti menilai persoalan di lapas atau rutan tidaklah sederhana. Menurutnya, telah terjadi permasalahan sistemik pada perundang-undangan dan hukum di Indonesia.
Saat ini, kata Bivitri, adalah momentum baik untuk mendorong perubahan dari hulu dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. “Adanya residivis justru membuktikan bahwa untuk tindak pidana tertentu, pemidanaan/penjara itu tidak efektif, melainkan perlu diterapkan restorative justice,” jelas Bivitri.