Wabah Malaria dan Merosotnya Perekonomian Cirebon Abad XX

Kisah wabah dan merosotnta ekonomi Cirebon

ANRI Jawa Barat
Akibat Malaria di Cirebon 1922.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh
: DR Imas Emalia, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta*

Ungkapan Fernand Braudel dalam Civilization an Capitalism 15th-18th Century (1988), bahwa wabah penyakit dapat mempengaruhi demografi, peradaban manusia, dan perekonomian negara.


Maka dalam hal ini, berbicara wabah penyakit, pikiran kita pun akan terbawa pada dinamika perekonomian masyarakat yang saling berpengaruh di dalamnya. Roda perekonomian yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat bisa tersendat berputar dalam artian terpuruk disebabkan adanya wabah.

Dalam catatan sejarah pun, roda perekonomian pemerintah pernah terhambat bahkan mengalami penurunan drastis akibat wabah penyakit yang melanda para pekerja atau buruh.

Di Amerika awal abad ke-19, salah seorang pasukan militer Amerika, Mayor Walter Reed, mengusulkan penghentian proses penggalian tanah kepada pemerintah. Alasannya, banyak buruh proyek penggalian tanah itu sakit dan meninggal dunia. Para buruh menderita penyakit yellow fever daan banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Penurunan jumlah buruh di Amerika saat itu telah membuat kerugian negara, secara mendadak.

Saat itu penyakit yellow fever diakibatkan lingkungan yang kotor. Hasil penelitian saat itu menyebutkan bahwa penyakit yellow fever sejenis malaria  yang ditularkan melalui nyamuk yang berkembang di lingkungan yang kumuh. Penyakit ini dapat  menyebabkan kematian pada manusia.


            Keterangan Foto: Kompleks Parbrik Gula Sindang Laut, tahun 1914.

Menurut Mayor Walter Reed, bila kondisi seperti itu dibiarkan, maka akan berakibat pada perekonomian negara. Mayor Walter Reed memandang pentingnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan para buruh tersebut demi meningkatnya perekonomian negara.

Dalam kaitannya dengan hal itu, tulisan ini akan mengulas kasus wabah malaria di Cirebon yang terjadi di awal abad XX yang ada relevansinya dengan nasib perekonomian pemerintah saat itu.



Kabar tentang nama penyakit ‘yellow fever’ menyebar di wilayah Hindia Belanda di akhir abad ke-19. Laporan pemerintah, yaitu Kolonial Verslag tahun 1883-1884 menyebutkan adanya kasus penyakit itu dan mewabah di masyarakat. Laporan itu menyebut penyakit ‘yellow fever’ adalah malaria seperti hasil penelitian di Amerika tersebut.

Di Cirebon, penyakit malaria menyerang penduduk pada tahun 1882. Dalam laporan pemerintah itu, tercatat sejumlah 3.900 orang penderita malaria meninggal dunia di bulan Januari 1882. Dalam hitungan lima bulan, jumlah penderita meningkat tinggi. Yaitu di bulan Mei 1882 jumlah penderita malaria menjadi 10.919 orang. Wabah malaria terutama menyerang para buruh yang tinggal di lingkungan  yang kumuh dan berawa.

Kondisi itu pun memang terjadi di beberapa daerah di Jawa, seperti Batavia, Semarang, Probolinggo, Besuki, dan Banyumas. Namun, dalam Kolonial Verslag tahun 1883-1884 disebutkan bahwa daerah Cirebon merupakan daerah kasus malaria yang tertinggi dibanding daerah-daerah tersebut.  Dugaan pemerintah kota Cirebon, daerah yang banyak berkembang bibit malaria di Cirebon adalah daerah-daerah yang dipenuhi rawa-rawa di sekitar pantai dan pinggir sungai.

Bila berdasar pada laporan di atas, pengetahuan tentang malaria bukanlah hal yang asing bagi pemerintah kota Cirebon saat itu. Laporan itu pun menyebutkan bahwa penyakit ‘yellow fever’ atau malaria disebabkan udara yang kotor, lembab, dan basah sebagai dampak dari lingkungan yang kotor.

Namun, anehnya, sampai pertengahan abad ke-20, kepada media massa, pemerintah kota Cirebon selalu menyebut penyakit malaria sebagai ‘penyakit yang tidak dikenal’.  Rupanya, dari informasi koran Bataviaasch Nieuwsblad (1915) dapat dipahami alasan-alasan pemerintah  mengatakan demikian, di antaranya;

Pertama; pemerintah tidak ingin disebut sebagai penyebab kemunculan wabah malaria di kota. Setelah pemerintah mengizinkan proyek penggalian tanah di tahun 1912, untuk perusahaan kereta api Semarang-Cirebon dan Cirebon-Cikampek-Batavia, lokasi sekitar proyek itu menjadi kotor dan berlumpur. Daerah Kejaksan sebagai pusat pemerintahan menjadi daerah terparah terpapar wabah malaria.

Namun pemerintah bersikap apatis atas kejadian ini. Para buruh di proyek itu tetap wajib kerja sekalipun sakit. Para peneliti yang dikirim ke Cirebon memprotes pemerintah agar menghentikan proyek itu selama wabah malaria belum teratasi. Namun pemerintah beralasan bahwa tidak pernah tahu tentang penyakit itu. Pemerintah tetap mengizinkan pelaksanaan proyek penggalian tanah demi mempercepat proyek pembuatan rel kereta api yang akan memperlancar distribusi hasil perkebunan dan olahannya ke kota.

Kedua; pemerintah lepas tangan atas kasus para buruh yang terserang demam, diare berdarah disertai muntah darah, bahkan pendarahan di sekitar pori-pori tubuhnya. Pemerintah beranggapan kalau mengurus buruh sakit adalah bukan tanggungjawabnya. Buruh yang sakit malaria dipandang pemerintah sebagai kesalahannya sendiri karena tidak dapat memelihara kebersihan lingkungannya.

Pemerintah juga merasa kalau penyakit malaria di daerah iklim tropis adalah penyakit yang aneh karena tidak pernah terjadi di Eropa.  Para dokter peneliti pun menyebut penyakit itu sebagai  ‘penyakit tak dikenal’, sekalipun beberapa koran Eropa di tahun itu telah menyebut penyakit malaria. Oleh karena itu para buruh tetap dituntut wajib kerja sekalipun mereka sakit.

Informasi dari koran lokal, Bintang Tjirebon pada 12 Mei 1914, menjelaskan adanya penyakit malaria di masyarakat disebabkan lingkungan kotor yang dibiarkan lama, sikap aptis pemerintah terhadap para penderita, dan kesalahan pemerintah yang selalu mendatangkan para buruh ke kota Cirebon dalam jumlah banyak. Kepadatan penduduk akibat migrasi itu di tahun itu telah membuat percepatan persebaran nyamuk malaria tidak terkendali.

Dokter Spaarwoude Wermesinger, yang ditugaskam Dinas Kesehatan Kota untuk memeriksa pasien-pasien penderita malaria. Mereka mengalami demam yang tidak turun dalam waktu 5 hari. Namun, para pasien meninggal pada hari kelima sakitnya. Dokter Spaarwoude Wermesinger pun menyebutkan kalau para pasien ini menderita malaria. Kebanyakan pasien malaria adalah para buruh yang tinggal di lingkungan yang padat dan kumuh.
Maka dari kesimpulan koran itu, bahwa sebenarnya penyakit malaria sudah dapat terdeteksi sebelum masa 10 hari. Nama penyakit ini pun bukan hal yang asing, sehingga dapat dikenali dan diatasi dengan cepat sebelum terjadi pendarahan pada pasien. Namun sikap apatis pemerintah tidak membuat wabah malaria berakhir secara cepat.




Koran Bintang Tjirebon yang terbit 12 Mei 1914 itu menyesalkan tindakan pemerintah kota yang tidak cepat melakukan preventif dan kuratif. Dalam koran Bintang Tjirebon 13 Juni 1915 dan Pribumi 24 November 1921, kritikan kepada pemerintah atas kasus-kasus malaria memenuhi beberapa lembar koran. Kritikan itu banyak menyoroti kasus wabah malaria yang melanda para buruh di beberapa proyek pembangunan, pabrik, dan di pelabuhan.

Kritikan itu bernada saran kepada pemerintah kota Cirebon untuk lebih meperhatikan kesehatan para buruh yang terus dipaksa bekerja dalam keadaan sakit dan saat malaria mewabah.
Jelas dalam hal ini pemerintah tidak mau dirugikan akibat berkurangnya tenaga buruh. Pekerjaan mereka sangat berarti bagi roda perekonomian negara. Maka saat itu pemerintah tidak menanggapi berbagai kritikan yang beredar di berbagai media massa.

Berita dari kedua koran itu kemudian baru disadari oleh pemerintah di tahun 1925. Pemerintah kota Cirebon mengalami kerugian perekonomian yang besar setelah berkurangnya jumlah buruh akibat malaria dan meninggal dunia tanpa ditangani secara cepat. Mereka dipaksa bekerja dalam keadaan sakit hingga meninggal dan berdampak pada jumlah produksi terutama dari perkebunan, pabrik gas, dan pabrik gula.


           Keterangan Foto: Sebuah sungai di Cirebon 1947.

Buku Gedenkboek der Cheribon 1906-1930, yaitu buku laporan para residen Cirebon, mengulas tentang Malariabestrijding atau penangan malaria. Dalam laporan itu disebutkan bahwa berkurangnya jumlah buruh di tahun 1925 akibat wabah malaria berdampak besar pada kemerosotan setoran hasil produksi.

Pemerintah merasakan kepahitan ini setelah hasil perkebunan anjlok secara drastis. Pemerintah baru menyadari bahwa kasus malaria sungguh mengacaukan kondisi pekerjaan dan menurunkan perekonomian negara. 

Upaya Menangani Wabah Malaria

Mulai tahun 1926 pemerintah menangani wabah malaria secara serius. Menurut berita koran Koemandang Masjarakat tanggal 25 Mei 1940, ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus wabah malaria.

Pertama; pemerintah mulai memperhatikan para buruh di lokasi proyek pembangunan jalan raya dan penggalian tanah.

Kedua; pemerintah mulai melakukan perbaikan pemukiman di kota (kampoeng verbatering) dan kebutuhan air bersih untuk masyarakat pribumi. 

Ketiga; pemerintah mulai menerima kritikan dari media massa secara bijak. Dalam menanggapi kritikan itu, pemerintah membuat program penelitian atas wabah malaria yang dilakukan oleh para peneliti dari Batavia bekerjasama dengan pemerintah kota Cirebon.

Keempat; pemerintah mengangkat seorang kontrolir untuk mengawasi perbaikan jalan dan pasar (passer-controleur) dan menangani lingkungan proyek sebagai tindakan perventif.

Namun, seringkali para kontrolir ini tidak bekerja sesuai aturan. Mereka memanfaatkan tugasnya untuk mengurangi setoran hasil perkebunan dan pajaknya kepada pemerintah. Di lapangan, mereka memungut pajak ilegal berlipat-lipat dari para pedagang di pasar-pasar, hanya untuk kepentingannya sendiri.  Mereka enggan mengawasi para buruh di pasar dan lingkungan yang rawan wabah karena alasan bukan tanggungjawabnya. Tugas itu dipandangnya sebagai tanggungjawab para dokter.

Alhasil, malaria tetap mewabah. Akibat wabah malaria itu kondisi perekonomian pemerintah merosot. Kondisi para buruh pun tidak berubah. Mereka tetap tinggal di lingkungan yang kumuh, tidak ada celah udara dan sinar matahari, dan sempit yaitu hanya berukuran 7-9 m2 untuk 50 jiwa.

Oleh karena itu, di satu sisi, kemerosotan perekonomian pemerintah dibuat oleh para kontrolir sebagai oknum pemerintah. Di sisi lainnya, pemerintah sendiri membuka peluang kerugian atas perekonomiannya karena tidak serius dalam memperhatikan para buruh yang menjadi penggerak roda perekonomian dan tidak ketat mengawasi kontrolir.

Kondisi itu, membuat Dinas Kesehatan Provinsi turut andil dalam menangani kasus wabah malaria di Cirebon yang tidak pernah berakhir akibat adanya penyimpangan-penyimpangan tugas seperti itu. Pada pertengahan tahun 1926, Dinas Kesehatan Provinsi menugaskan dr. Boy dan beberapa dokter lainnya untuk turun lapangan dan menangani urusan wabah malaria di berbagai daerah kumuh dan berrawa di Cirebon. Para dokter itu pun ditugaskan untuk memeriksa kesehatan para buruh pelabuhan, buruh pembangunan jalur kereta api, dan buruh pabrik gula.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit di tanggal 17 Juni dan 25 Juli 1926 memberitakan kedatangan Prof. Rodenwalt, seorang ilmuan Eropa yang dikirim dari Belanda untuk meneliti lingkungan kota Cirebon yang kotor yang menjadi sarang nyamuk malaria. Prof. Rodenwalt dan dr. Boy melakukan penelitian di Cirebon. Keduanya kemudian mengusulkan program pembersihan desa dan perkampungan sekitar kota kepada Dinas Kesehatan Kota Cirebon dan pemerintah kota.

Kerjasama itu difokuskan untuk menghilangkan lingkungan kumuh dan mengurug lubang jalan yang sering menjadi sarang nyamuk di musim hujan.

Kerjasama itu semakin terlihat ketika mengkampanyekan pil kina kepada para buruh dan para pasien malaria. Kampanye kebersihan dan pil kina dipandang oleh tim itu berhasil karena dapat menekan jumlah penderita malaria. Namun di kemudian hari, pemerintah kota Cirebon berbeda pandangan.

Sejak kunjungan Prof. Rodenwalt dan dr. Boy itu, Cirebon semakin dikenal di beberapa laporan pejabat pemerintah di Hindia Belanda sebagai daerah kasus malaria tertinggi di tahun 1914-1926. Maka pasal inilah yang memicu perbedaan pandangan antara pemerintah kota dengan tim dokter. Kemarahan pemerintah kota juga terjadi kepada Dinas Kesehatan Kota. 

Pemberitaan kasus wabah malaria dipandang sebagai aib pemerintah kota Cirebon yang tidak semestinya menyebar. Jumlah kematian korban penyakit malaria pun dipandang tidak semestinya menjadi sorotan di beberapa rapat pejabat di Hindia Belanda. 

Sikap pemerintah kota Cirebon seperti tiu berlanjut pada penghentian gaji atau upah bagi para dokter, hingga akhirnya, para dokter mogok kerja.

Saat yang bersamaan, pasien malaria terus bertambah. Beberapa media massa menyebutkan bahwa antara tahun 1914-1926  peristiwa wabah malaria mengakibatkan perekonomian pemerintah kota Cirebon bangkrut.

---------------------
* Catatan di atas memberi pelajaran kepada kita tentang pentingnya solidaritas terhadap semua lapisan masyarakat. Solusi lockdown di masa wabah perlu secara serempak untuk semua lapisan masyarakat mulai dari pemilik perusahaan hingga para buruhnya. Kebijakan meningkatkan nilai produksi ekonomi penting adanya keselarasan dengan solidaritas kerja di setiap lembaga. Dengan begitu dapat mempercepat memutus pola persebaran wabah.

Wallahu ‘alam




BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler