Komisi X DPR RI Nilai TV Edukasi Tenggelam di Era Daring
Hanya 6,5 persen siswa di area 3T belajar dari rumah berasama televisi edukasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Zainuddin Maliki menyayangkan televisi edukasi yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sendiri belum bisa dijadikan tumpuan harapan. Padahal di tengah kesulitan melayani pembelajaran siswa di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) yang tidak bisa menjangkau internet selama darurat Covid-19 sehingga media televisi dan radio sangat dibutuhkan.
"Data Kemdikbud menyebutkan angka 6,5 persen saja siswa yang berada di 3T yang belajar dari rumah bersama TV Edukasi. Seharusnya Kemdikbud lebih sungguh-sungguh tangani sehingga TV Edukasi menjadi saluran yang paling dibutuhkan siswa belajar dari rumah," ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Ahad (3/5).
Karena belum bisa berharap banyak kepada TV edukasi Kemendikbud, kata Maliki, solusinya Kemdikbud harus “menyewa” TVRI untuk menyelenggarakan paket belajar dari rumah. Sehingga di sini Kemdikbud sedikit banyak terbantu melayani siswa yang kesulitan akses internet. Tercatat 52 persen siswa 3T belajar dengan menonton saluran TVRI. Namun bagaimanapun TVRI juga memiliki keterbatasan.
"Dari kuota waktu pasti terbatas, karena harus dibagi dengan program-program regular TVRI itu sendiri. LPP TVRI juga tidak punya tenaga khusus yang kompeten secara pedagogis," ungkapnya.
Hal ini, lanjut Maliki, berisiko lamban mengontrol munculnya penayangan pembelajaran yang bergeser dari tujuan pendidikan. Misalnya, bisa terselingi oleh paket iklan yang kontennya bertolak belakang dengan pendidikan anak-anak. Ditambah, TVRI juga belum seratus persen bisa menjangkau daerah terisolir. Akibatnya, masih banyak siswa didik yang tinggal di daerah yang televisi dan radio pun tak bisa dinikmati.
"Guna mengatasi daerah terisolasi itu tidak ada pilihan lain siswa di daerah terisolasi itu selain harus di datangi langsung oleh guru," tegas Maliki.
Oleh karena itu, menurut Maliki, Kemdikbud harus merekrut relawan dari guru-guru penggerak. Guru itu bisa diorganisir dalam satu gugus tugas layanan pendidikan khusus siswa terisolir di tengah wabah Covid-19. Anggap saja tugas guru yang mendatangi siswanya ini seperti petugas medis yang harus berinteraksi langsung dengan pasien.
"Oleh karena itu bekali APD yang lengkap. Jangan lupa bekali juga transport dan insentif khusus buat guru penggerak itu," tuturnya.
Kemudian guru penggerak tersebut harus door to door, dengan membawa paket pembelajaran yang telah dirancang khusus. Dalam hal ini paket pembelajarannya bukan berbasis konten, tetapi berbasis proyek atau yang dikenal dengan project based learning approach. Interaksi dengan siswa tidak perlu memakan waktu lama. Cukup sepuluh hingga 15 menit guru jelaskan proyek yang harus dilakukan siswa.
"Hasil proyek yang dikerjakan siswa akan ditagih pada kunjungan pekan berikutnya. Dari tagihan itu, guru harus memperoleh portofolio atau rekam jejak siswa selama sepekan, yang evaluasinya dilakukan secara integrated," ucapnya.
Sambungnya Maliki, gunakan media by utility. Pelajaran biologi misalnya, siswa bisa diminta cari, kenali dan ambil tindakan yang seharusnya terhadap perilaku species atau flora dan fauna yang ada di sekitar rumahnya. Dari situ bisa dilihat hardskill seperti pengetahuan siswa tentang alam, penguasaan bahasa dan aspek ilmu pengetahuan terkait lainnya.
"Lebih dari itu, berdasarkan protofolio tersebut dapat juga dievaluasi softskill seperti kesungguhan, kemauan, kerapian, kreatifitas dan cara siswa menyelesaikan kesulitan menyelesaikan proyeknya," jelas Maliki.
Maka dengan demikian, Maliki minta Kemdikbud jangan buang waktu. Segera gerakkan relawan. Layani pembelajaran siswa di daerah terisolasi dan datangi mereka. Kata Maliki, mereka juga berhak mendapatkan layanan terbaik dari pemerintah di tengah wabah Covid-19.