Hukum Berhubungan Intim karena Lupa Saat Puasa

Bagaimana hukum berhubungan intim saat puasa karena lupa?

Republika/Prayogi
Hukum Berhubungan Intim Karena Lupa Saat Puasa. Foto: Pernikahan Ilustrasi
Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu hal yang membatalkan puasa adalah berhubungan intim pada waktu puasa. Lalu, bagaimana hukumnya jika melakukan hubungan intim, tetapi lupa jika sedang berpuasa?

Baca Juga


Pada awal Ramadhan, tak sedikit memang umat Muslim yang terkadang lupa bahwa tengah berpuasa. Tak sedikit terkadang yang meneguk minum atau bahkan memakan makanan saat sedang berpuasa karena lupa. Apakah mungkin lupa bisa juga terjadi pada saat gairah berhubungan intim terjadi?

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd, apabila seseorang melakukan hubungan intim saat sedang berpuasa karena lupa, ia tidak wajib mengqadha puasanya. Ia juga tidak wajib membayar kafarat sama sekali.

Adapun ulama-ulama mazhab yang berpendapat seperti ini antara lain Hasan al-Bashri, Mujahid, Abu Hanifah, Ishak, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibnu al-Mundzir. Namun, demikian ulama-ulama dari dua kalangan ini seperti al-Auza’i dan al-Laits berpendapat, yang bersangkutan dikenakan qadha. Sebab, melakukan hubungan seks karena lupa tidak bisa disamakan dengan kasus makan ataupun minum.

Sementara itu, menurut Imam Ahmad serta ulama-ulama dari mazhab Imam Malik, yang bersangkutan hanya wajib mengqadha dan tidak wajib membayar kafarat. Selain itu, menurut Imam Ahmad serta ulama-ulama dari mazhab Zhahiri, yang bersangkutan wajib mengqadha sekaligus membayar kafarat.

Terjadinya silang pendapat atas qadha bagi orang yang lupa tersebut karena adanya pertentangan antara pengertian lahiriah hadits dengan qiyas. Dari segi qiyas, orang melakukan hubungan seks karena lupa disamakan dengan orang yang meninggalkan sholat karena lupa.

Maka, ia diwajibkan mengqadha puasa sebagaimana yang diwajibkan terhadap orang yang meninggalkan shalat karena lupa berdasarkan nash. Adapun hadits yang pengertian lahiriahnya bertentangan dengan qiyas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Rasulullah SAW bersabda: “Man nasiya wa huwa shoimun, fa akala aw syariba falyutimma shaumahu fainnama ath’amahullahu wasaqohu.” Yang artinya: “Barang siapa lupa kalau dia sedang berpuasa lalu makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah.”

Dari hadits inilah muncul perdebatan pendapat oleh para ulama tentang orang yang mengira matahari sudah terbenam sehingga ia lalu berbuka, tetapi ternyata belum (terbenam). Maka, muncullah perdebatan apakah yang bersangkutan wajib mengqadha atau tidak, sedangkan lupa disamakan dengan khilaf, termaafkan.

Ibnu Rusyd menjelaskan, apabila dipahami bahwa hukum dasarnya adalah orang lupa tidak wajib mengqadha puasa, kecuali bila ada dalil yang mewajibkannya. Dengan demikian, orang yang berbuka karena lupa tidak wajib qadha karena tidak ada dalil yang mewajibkannya. Lain halnya dengan lupa dalam mengerjakan sholat yang wajib qadha.

Jika dipahami bahwa hukum asal orang lupa wajib mengqadha, kecuali bila ada dalil yang menghapus kewajiban tersebut, dalil yang menghapuskan kewajiban tersebut ada, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang isinya membebaskan sanksi hukuman dari orang yang lupa.

Kecuali kalau ada orang yang mengatakan, sesungguhnya lupa dalam berbuka itu sama dengan lupa dalam ibadah-ibadah yang lain pada umumnya. Kecuali jika lupa berbuka itu disamakan dengan lupa sholat maka wajib mengqadha.

Rasulullah SAW bersabda: “Umatku diampuni karena melakukan kekhilafan dan lupa.” Namun, sampai ada dalil lain yang men-taskhih. Pendapat-pendapat ulama yang menyatakan wajib mengqadha dan tidak ataupun wajib membayar kafarat atau tidak sejatinya memiliki dasar dalil yang jelas.

Batal atau tidak puasanya?

Sementara itu, Imam an-Nawawi dalam kitabnya berjudul Al-Majmu menjelaskan, melanggar hal-hal yang menafikan puasa karena lupa itu tidak membatalkan. Menurut Rabi’ah dan Imam Malik, sebagaimana yang dijabarkan oleh Imam an-Nawawi, puasa orang yang melakukan hubungan seks, makan, dan yang lainnya hukumnya batal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler