DPR Minta Pembiayaan Haji Dihitung Ulang Akibat Covid-19
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi VIII DPR menggelar rapat kerja virtual bersama Kementerian Agama dengan agenda pembahasan penyelenggaraan ibadah haji di tengah wabah Covid 19, Senin (11/5). Pada kesempatan itu Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily meminta Kemenag untuk menghitung ulang pembiayaan haji akibat Covid-19 jika memilih satu di antara dua skenario terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun ini.
Dalam rapat virtul itu pemaparan dimulai dari Kemenag yang diwakil Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid. Dalam paparannya, Zainut menyampaikan bahwa pemerintah melalui Kemenag telah membuat skenario penyelenggaraan ibadah haji menjadi dua, yaitu pertama dengan pembatasan kuota dan kedua ibadah haji tidak dilaksanakan sama sekali.
Merespon hal itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily meminta agar diadakan pembicaraan lebih lanjut terhadap dua skenario tersebut. Di antaranya soal ketentuan penyelanggaraan haji, yang asalnya Kemenag membuat tiga skenario kini menjadi dua skenario.
"Jadi intinya tidak mungkin menurut Kemenag kita akan melaksanakan ibadah haji secara normal. Saya ingin menegaskan bahwa untuk mengatur skenario haji dengan pembatasan dan tidak dilakukan sama sekali, saya mengusulkan dibuat rapat secara khusus dengan Komisi VIII nanti," kata Ace.
Menurut Ace, penyelenggaraan dengan pembatasan kuota akan berimplikasi pada banyak hal, mulai dari tiket, pemondokan, transportasi hingga katering. Jika dilakukan haji dengan pembatasan kuota, menurutnya pasti akan terjadi perhitungan ulang terhadap seluruh proses pembiayaan.
"Kita telah menghitung kemarin 221.000 jamaah haji. Kalau terjadi pembatasan kuota katakan 110.000, maka konsekuensinya, tiket akan mengalami perubahan, pemondokan, transportasi dan katering selama di Arab Saudi," katanya..
Terkait persoalan pemodokan, apakah dimungkinkan dalam konteks pembatasan kuota tersebut dengan physical distancing, satu kamar bisa empat orang. Masalah-masalah teknis seperti ini harus dipikirkan oleh semua pihak terkait karena tidak mungkin satu kamar bisa physical distancing.
"Itu pasti berdempetan. Jadi apakah dimungkinkan misalnya dibuat kebijakan satu kamar hanya untuk dua orang," katanya.
Ace menyebut keputusan pembatasan kuota haji harus dilakukan dengan matang dan cermat. Karena hal itu semua berimplikasi terhadap perhitungan ulang perjalanan pelaksanaan ibadah haji dan anggarannya.
Menurut dia, tidak gampang dan juga tidak mudah bagi kita semua untuk mengambil keputusan yang cepat. Karena ini menyangkut penggunaan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ibadah haji dengan sistem pembatasan kuota tersebut," katanya.
Jadi kata Ace, apa yang disampaikan Wamen itu, menurutnya memang mesti ada pembicaraan lebih lanjut, khususnya terkait apabila pelaksanaan ibadah haji dilakukan dengan pembatasan kuota. Karena hal ini kata Ace, berimplikasi terhadap pelaksanaan teknis lapangan.
"Termasuk yang paling mungkin adalah soal pembiayaan dan penganggaran. Tentu itu semua harus disesuaikan dengan anggaran yang kita miliki dan physical distancing protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah Arab Saudi," katanya.