BPK: Potensi Pajak Belum Tergali
Rasio pajak menjadi salah satu sorotan bagi BPK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono menyatakan, terdapat potensi pajak di Indonesia yang belum terjangkau pemerintah. Hal itu terlihat dari tingkat produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat, tetapi rasio pajak terhadap PDB konsisten mengalami penurunan.
"PDB meningkat tapi rasio pajak menurun, jadi ada poin-poin yang belum terambil atau diperoleh pajaknya," kata Agus dalam Media Workshop Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019 BPK, Senin (11/5).
Diketahui, hingga akhir 2019 lalu, angka PDB nasional kembali meningkat ke posisi Rp 16 ribu triliun. Namun angka rasio pajak turun dari 11,5 persen pada 2018 menjadi 10,7 persen akhir 2019.
Agus menuturkan, hal itu menjadi salah satu sorotan bagi BPK. Sebab, penerimaan negara menjadi indikator pembagi dalam setiap utang yang diambil pemerintah untuk menutupi defisit anggaran setiap tahunnya. Oleh sebab itu, BPK mendorong pemerinah untuk terus menggali potensi-potensi pajak seiring naiknya angka PDB.
"Masih ada yang belum termitigasi pajaknya, karena itu kita melihat ini bagian dari jangka panjang pemerintah untuk terus menggali potensi pendapatan," ujar Agus.
Ia pun menegaskan, kaitannya dengan utang, pemerintah harus benar-benar memiliki sistem pengelolaan fiskal yang berkelanjutan. Tentunya dengan terus berupaya meningkatkan pendapatan agar utang yang dimiliki Indonesia tidak menjadi ancaman di masa yang akan datang.
"Untuk itulah, BPK selalu melihat posisi utang dari berbagai indikator, termasuk dalam konteks penerimaan kita," kata Agus.
Sementara itu, Auditor Keuangan Negara II BPK, Laode Nusriadi, mengatakan, secara teori pengelolaan dan pemanfaatan utang seharusnya bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian. Pengelolaan utang yang berkesinambungan secara fiskal pada akhirnya akan menjaga kedaulatan nasional.
Meskipun, tak dipungkiri posisi utang pemerintah masih di bawah angka 60 persen terhadap PDB seperti yang diatur dalam undang-undang. Adapun dari sisi defisit anggaran, pun masih di bawah tiga persen.
Kendati demikian, utang-utang yang diambil pemerintah meski ditujukan untuk membiayai belanja-belanja produktif, Laode menilai, pemerintah belum memiliki parameter untuk mengukur efektivitas utang tersebut.
"Ini belum ada parameternya, bahwa di satu sisi sifat belanja ekpansif dengan membuat anggaran defisit, tapi utang untuk belanja itu tidak ada ukuran-ukurannya," ujar Laode.