Kementan: Harga Cabai Turun karena Oversupply
Berdasar data EWS Kementan, cabai rawit surplus 27 ribu ton sehingga harga turun
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat produksi cabai rawit pada Mei 2020 ini mengalami over supply atau kelebihan pasokan hingga 27.130 ton, berdasarkan data Early Warning System (EWS).
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto menyebutkan neraca cabai rawit yang mengalami surplus sebesar 27.130 ton tersebut menyebabkan jatuhnya harga komoditas hortikultura itu di tingkat petani.
"Cabai rawit ini surplus lebih dari 27 ribu ton, makanya bulan ini harganya jatuh. Namun, stok cabai rawit Mei hingga Juni masih aman secara nasional," kata Prihasto pada web seminar yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (12/5).
Prihaso mengungkapkan melimpahnya hasil panen tersebut tidak sebanding dengan permintaan pasar saat ini akibat kebijakan PSBB di beberapa daerah tujuan pasar. Akibatnya, memang terjadi kelebihan pasokan yang berdampak pada jatuhnya harga sehingga petani kekurangan modal untuk menanam kembali.
Berdasarkan data EWS yang dimiliki Kementan, produksi cabai rawit pada Mei mencapai 115.458 ton dengan daerah penghasil tertinggi di Jawa Timur sebanyak 44.090 ton. Sementara itu kebutuhan cabai rawit pada bulan ini berkisar 88.327 ton, sehingga dihasilkan surplus 27.130 ton.
Kemudian pada Juni 2020 surplus cabai rawit diprediksi menurun sebesar 14.941 ton dengan produksi mencapai 98.536 ton dan kebutuhan 83.595 ton.
Sudargo, petani cabai di Pati, mengaku panen cabai rawitnya hanya dihargai Rp 1.500 per kilogram, padahal dalam setengah hari ongkos panen memerlukan biaya Rp 100 ribu.
"Dalam setengah hari, panen menghasilkan 70 kilogram cabai, sehingga penghasilan petani sekitar Rp 105 ribu, hanya selisih Rp 5.000. Itu pun belum menghitung biaya transportasinya," kata Sudargo.
Berdasarkan data EWS bulan Agustus hingga Oktober mendatang, produksi khususnya untuk aneka cabai diprediksi akan mengalami surplus nasional yang sangat tipis, hanya sekitar 5.000 hingga 9.000 ton pada September-Oktober. Hasil produksi tersebut dampak dari mulai terjadinya musim kemarau dan menurunnya minat tanam petani karena rendahnya harga yang terjadi saat ini.