Bolehkah Menggunakan Pil Antihaid untuk Ibadah Haji?
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Jamaah haji perempuan sesuai fitrahnya tentu akan mengalami menstruasi atau haid, ketika menunaikan ibadah yang wajib sekali dalam seumur hidup. Bagi jamaah haji perempuan, mengalami menstruasi di Tanah Suci tentu akan merepotkan, karena ibadahnya akan terhenti.
Guna menghindari terjadinya menstruasi selama di Tanah Suci, banyak jamaah haji perempuan yang menggunakan pil antihaid. Selain di musim haji, ada pula wanita yang mengonsumsi pil antihaid agar bisa berpuasa selama satu bulan penuh, tanpa terganggu. Lalu bolehkah seorang Muslimah menggunakan pil antihaid?
Para ulama di Tanah Air telah mengkaji hukum penggunaan pil antihaid sejak 1979. Namun, masih banyak Muslimah yang belum mengetahui tentang hukum menggunakan pil antihaid serta dalam kondisi apa pil antihaid boleh dikonsumsi Muslimah.
Fatwa tentang penggunaan pil antihaid telah ditetapkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sidang Komisi Fatwa MUI pada 12 Januari 1979 telah memutuskan: Pertama, penggunaan pil antihaid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
Artinya, para ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa MUI membolehkan jamaah haji perempuan untuk menggunakan pil antihaid, selama menunaikan rukun Islam kelima. Sehingga, kaum hawa tak mengalami hambatan dalam beribadah di Tanah Suci.
Kedua, penggunaan pil antihaid dengan tujuan agar bisa berpuasa secara penuh di bulan Ramadhan hukumnya makruh. ‘’Akan tetapi, bagi wanita yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah,’’ ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI KH M Syukri Ghozali dalam fatwanya.
Ketiga, penggunaan pil antihaid selain untuk dua keperluan di atas, Komisi Fatwa MUI memutuskan hukumnya tergantung pada niatnya. Namun, jika digunakan untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya menjadi haram.
Masalah penggunaan pil antihadi selama bulan Ramadhan juga mendapat perhatian ulama terkemuka, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi. Dalam Fatwa-fatwa Kontemporer, Syekh Yusuf mengungkapkan bahwa lebih baik jika kaum perempuan mengutamakan sesuatu yang sesuai dengan tabiat dan fitrahnya.
‘’Selama darah haid itu merupakan perkara thobbii (kebiasaan) dan fitri, hendaklah dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya sebagaimana, ia diciptakan oleh Allah SWT,’’ papar Syekh Qaradhawi.
Menurut dia, kaum Muslimin telah sepakat bahwa wanita Muslimah yang kedatangan haid pada bulan Ramadhan yang penuh berkah tak wajib berpuasa. ‘’Artinya tak wajib berpuasa pada bulan itu dan wajib mengqada pada bulan yang lainnya.’’
Dalam pandangan Syekh Qaradhawi, hal itu merupakan kemuarahan dari Allah dan rahmat-Nya kepada wanita yang sedang haid, karena pada saat itu kondisi badan seorang perempuan sedang lelah dan urat-uratnya lemah.
Hal serupa, kata dia, juga dilakukan sejak zaman ummahatul mukminin dan para sahabat wanita serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. ‘’Kalau dengan demikian, tak ada halangan bagi Muslimah untuk berbuka puasa apabila haid datang pada bulan Ramadhan, namun tetap harus mengqadha pada bulan lainnya,’’ papat Syekh Qaradhawi.
Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Aisyah RA, ia berkata, ‘’Kami diperintahkan mengqada puasa dan tak diperintahkan mengqadha shalat.’’ (HR Bukhari).
Namun, kata Syekh Qaradhawi, jika ada wanita Muslimah yang menggunakan pil untuk mengatur (mencegah) waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan Ramadhan, hal itu tak terlarang, dengan syarat pil itu dapat dipertanggungjawabkan dan tak berdampak buruk (madharat) bagi dirinya.
‘’Untuk mengetahui hal itu, sudah barang tentu harus dikonsultasikan dengan dokter spesialis kebidanan (obstetric),’’ ujar Syekh Qaradhawi. Demikianlah hukum penggunaan pil antihaid menurut hukum Islam.